Ikhtiar Menjaga Arti Penting Buku sebagai Simbol Peradaban

Ketua Komisi XIII DPR Willy Aditya. Foto: Metrotvnews.com/Fachri Audhia Hafiez.

Ikhtiar Menjaga Arti Penting Buku sebagai Simbol Peradaban

Arga Sumantri • 11 September 2025 12:41

Jakarta: Ketua Komisi XIII DPR Willy Aditya menegaskan negara harus memberikan perhatian khusus terhadap keberadaan buku. Willy menilai buku adalah penanda sekaligus monumen kebudayaan, kemudian memiliki gagasan termaktub dan diabadikan. 

Pesan tersebut disampaikan Willy saat menerima tim dari Badan Keahlian DPR yang dipimpin Bayu Dwi Anggono, Rabu, 10 September 2025 di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta. Dalam kesempatan tersebut tim menyerahkan naskah akademik sekaligus draf revisi UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan.

Revisi atas UU Perbukuan menjadi inisiatif Willy selaku anggota dewan. Ia melihat perkembangan buku cukup mengkhawatirkan, sehingga regulasinya perlu ditata ulang.

"Targetnya, revisi atas UU tersebut bisa masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025," ujar Willy dalam keterangannya, Kamis, 11 September 2025.

Willy melihat terjadi pergeseran perilaku dan atensi atas buku. Saat ini, buku tidak lagi menjadi bahan diskursus yang semarak dalam berbagai ruang dan kesempatan. Toko buku kini tidak lagi menjadi destinasi yang ramai dikunjungi sebagaimana satu dua dekade sebelumnya. 

"Keberadaannya bahkan tidak mendapat tempat yang layak dan terhormat. Di bilangan Senen, Jakarta Pusat, misalnya, toko buku berada di selasar yang gelap, pengap, dan tersembunyi," ujar Willy.
 

Baca juga: Milenial Anti Serangan Fajar, Literasi Politik dan Remaja Bernegara

Demikian juga dengan perpustakaan. Keberadaannya kerap menjadi tempat dengan fasilitas ala kadarnya. Hanya di kota-kota besar fasilitas ini terbilang memadai. 

Legislator NasDem itu menyebut disrupsi teknologi informasi memang telah menjadi faktor yang determinan dalam perubahan perilaku kebanyakan kita terkait minat terhadap buku. Meski demikian, kenyataan tersebut mestinya tidak membuat minat baca dan atensi terhadap karya berupa buku menjadi berkurang.

Pada level struktural, alumnus INS Kayu Tanam itu melihat bahwa UU Nomor 3 Tahun 2017 kurang memadai untuk menjawab tantangan dan perkembangan yang terjadi. UU tersebut bias buku ajar sebagai pemenuhan program wajib belajar sembilan tahun. Hal itu telah membuat produksi buku tidak semarak dan hanya berorientasi pada pemenuhan bahan ajar semata. 

Problem struktural lainnya terletak pada harga kertas dan pajak. Ini yang membuat harga buku di Tanah Air terasa lebih mahal dibanding negara lain. 

"Dalam hemat saya, PPN atas buku mesti dihapuskan. Bagaimana kita akan mencerdaskan bangsa ini jika akses untuk menjadikannya cerdas malah dibuat mahal. Sudah saatnya akses-akses yang menunjang tumbuhnya peradaban luhur dari bangsa ini dibuka seluas-luasnya," jelas Willy.
 
Baca juga: Saan Tegaskan DPR dan Pemerintah Berkomitmen Melindungi Pengemudi Ojol

Semua kenyataan tersebut pada gilirannya membuat ekosistem perbukuan di Indonesia menjadi tidak sehat. Padahal, kata dia, itu adalah  syarat utama bagi tumbuhnya literasi yang kuat bagi segenap anak bangsa. Buku adalah soko guru pengetahuan. Tanpa keberadaan buku, takkan kokoh sebuah pengetahuan. 

Melalui revisi atas UU tentang Perbukuan, Willy mengajak semua pihak untuk mengarahkan perhatiannya kepada buku. Bagi Willy, keberadaan buku akan menentukan maju-mundurnya bangsa ini di masa mendatang. 

"Semoga ini menjadi amal jariah kita bersama. Dan bagi saya pribadi, ini adalah ikhtiar dalam menjaga arti penting buku sebagai simbol peradaban," pungkas Willy.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Arga Sumantri)