Ilustrasi utang. Foto: MI/Usman Iskandar.
M Ilham Ramadhan Avisena • 11 July 2024 18:04
Jakarta: Rektor Universitas Paramadina sekaligus ekonom senior dan pendiri Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J. Rachbini meminta pemegang kekuasaan harus hati-hati mengelola keuangan negara. Pasalnya keputusan dan kebijakan yang serampangan dapat berdampak buruk bagi perekonomian serta menambah pikulan beban bagi generasi mendatang.
Wacana penaikan rasio utang itu, sebut Didik, akan menjadi beban baru dan menyusahkan keuangan negara. Sebab, tanpa realisasi penaikan rasio utang pun presiden terpilih sudah diwariskan kewajiban utang dan bunga utang yang cukup besar.
Data Indef menunjukkan penambahan utang yang besar selama pemerintahan Joko Widodo. Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, nilai utang pemerintah tercatat Rp2.600 triliun, lalu naik tiga kali lipat di era Jokowi menjadi Rp8.300 triliun.
"Ini adalah kebijakan yang serampangan dalam kebijakan fiskal dan tidak bisa ditolerir. Bayar bunganya itu Rp497 triliun (tahun ini), bunganya tinggi, itu 10 kali dengan tingkat bunga di Jepang dan negara lain. Siapa yang menikmati? Investor, orang-orang kaya, mereka mengeruk dari pajak masyarakat," kata Didik, Kamis, 11 Juli 2024.
"Jadi masalah utang ini berat. Kata pak Faisal Basri itu, presiden setelah Jokowi itu paling sial. Bagaimana kalau Tim Prabowo mau menaikkan utang dari sekitar 40 persen terhadap PDB menjadi 50 persen? Itu lebih kacau lagi. Karena bayar bunganya itu besar sekali," tambahnya.
Kondisi utang RI lebih parah dari Jepang
Didik membandingkan kondisi utang Indonesia dengan Jepang. Rasio utang Jepang yang menembus 100 persen dari PDB dinilai lebih baik ketimbang Indonesia yang saat ini masih berkisar 38 persen terhadap PDB. Itu karena Jepang memiliki kemampuan membayar utang yang jauh lebih baik dibanding Indonesia.
Ekspor Negeri Sakura tetap moncer dan dinilai mampu membayar utang yang telah ditarik. Itu berbeda dengan Indonesia yang kondisinya ekspornya tak terlalu baik dan justru tengah mengalami pelambatan. "Jadi menghitung hanya berdasarkan rasio utang terhadap PDB itu menyesatkan," kata Didik.
"Kemampuan bayar kita tidak ada. Sehingga kalau mau ditingkatkan menjadi lebih besar, itu akan menjadi rawan. Jadi bunga utang yang ada sekarang itu Rp800 triliun, itu tidak dibayar semua, karena ada di
buyback dan lainnya, sehingga itu diwariskan kepada masa
Prabowo. Jadi kemampuan ekspor tidak ada, bunga yield tinggi 10 kali dari Jepang," lanjut dia.
Dia menambahkan, nilai utang yang tembus Rp8.000 triliun saat ini baru mencakup utang pemerintah semata. Jika itu digabungkan dengan utang publik lain yang berasal dari pemda dan BUMN, maka nilainya mencapai Rp15 ribu triliun, hampir 70 persen dari PDB Indonesia.
"Jadi utang ini sangat berat, bunganya saja ratusan persen lebih tinggi dari anggaran-anggaran pemerintah. Intinya harus hati-hati. Tidak bisa sembarangan, karena ini bukan uang presiden, ini kan dari pajak rakyat," tutur Didik.
Penjelasannya itu berkaitan dengan berita yang menayangkan pernyataan Hashim Djojohadikusumo ihwal rencana Prabowo menaikan rasio utang menjadi 50 persen terhadap PDB saat memerintah.
Dia mengatakan, penaikan rasio utang tersebut dilakukan untuk mendanai sejumlah program yang dianggap strategis. Sejalan dengan rasio yang dikerek naik, Hashim mengatakan presiden terpilih juga akan mengupayakan peningkatan rasio pajak.