Ilustrasi. Foto: Dok Medcom.id
Indriyani Astuti • 22 October 2023 15:06
Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) hingga saat ini tak kunjung membentuk Mahkamah Kehormatan MK. Padahal, ada sejumlah laporan dari masyarakat terkait dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi.
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Agil Oktaryal mengatakan ada usulan agar pembentukan MKMK bersifat permanen. Namun, MK belum melakukannya.
"Artinya sampai hari ini MKMK hanya dibentuk jika ada laporan etik yang masuk, alias ad hoc," ujar Agil ketika dihubungi, Minggu, 22 Oktober 2023.
Berdasarkan aturan internal MK, formasi MKMK akan diisi oleh beberapa perwakilan yang terdiri dari satu orang hakim MK aktif, satu orang mantan hakim MK, dan satu tokoh masyarakat. Hingga saat ini, nama-nama yang akan mengisi MKMK belum diumumkan.
Menurut Agil, laporan dugaan pelanggaran etik yang masuk ke MK saat ini berkaitan dengan putusan soal usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden. Dalam putusan itu, sambung Agil, sembilan hakim MK terlihat meskipun ada yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Ia mengatakan akan lebih baik apabila hakim aktif yang mengisi komposisi MKMK bukan hakim yang menyatakan mengabulkan perkara tersebut.
"Maka dari itu menurut saya, hakim yang dipilih yang mengisi komposisi MKMK adalah hakim yang menolak perkara atau minimal yang dissenting opinion karena 4 orang hakim ini tidak menjadi hakim yang dilaporkan dalam perkara ini," ungkapnya.
Selain hakim MK, sambungnya, perwakilan akademisi harus mereka yang paham betul akar persoalan etik dan menguasai dinamika pengambilan keputusan di MK. Lalu, Mantan hakim MK yang sama sekali tidak ada kepentingan.
"Terakhir mesti diisi oleh perwakilan masyarakat yang negarawan, agamais dan pancasilais," ujar Agil.
Sejumlah pihak telah melaporkan dugaan etik hakim MK yakni Pergerakan Advokat Nusantara (Perekat Nusantara) dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI). Laporan lainnya didaftarkan oleh Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) juga melaporkan lima dari sembilan hakim MK kepada Dewan Etik Hakim Konstitusi, Kamis, 19 Oktober lalu. Lima hakim yang dilaporkan PBHI ke Dewan Etik Hakim Konstitusi yakni Anwar Usman, Manahan M.P Sitompul, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, dan Guntur Hamzah.
Di sisi lain, muncul laporan juga terhadap hakim MK Saldi Isra yang dibuat oleh Dewan Pimpinan Pusat Advokasi Rakyat untuk Nusantara (DPP ARUN) dan Komunitas advokat Lingkar Nusantara (Lisan). Saldi salah satu dari empat hakim konstitusi yang menolak mengabulkan permohonan batas usia minimal capres-cawapres. Selain Saldi, tiga hakim yang menolak adalah Arief Hidayat, Wahiduddin Adams, dan Suhartoyo.
Pada Senin, 16 Oktober, MK mengabulkan sebagian permohonan perkara No.90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia minimal capres-cawapres yang dimohonkan oleh seorang mahasiswa. MK menyatakan seseorang yang berusia 40 tahun atau pernah/sedang menjabat sebagai kepala daerah bisa diusulkan menjadi capres-cawapres. Putusan MK dianggap memberi karpet merah bagi Putera Sulung Presiden Joko Widodo Gibran Rakabuming Raka yang disebut akan menjadi cawapres berpasangan dengan Prabowo Subianto.
Kepala Biro Hukum Administrasi dan Kepaniteraan (Kabiro HAK) Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono enggan menuturkan MK akan melakukan konferensi pers terkait sejumlah laporan dugaan pelanggaran etik, Senin, 23 Oktober 2023. Saat ditanya soal komposisi MKMK termasuk hakim MK aktif yang akan mengisi, Fajar mengatakan menunggu pengumuman saat konferensi pers.
"Kita tunggu konferensi pers besok saja ya," ujar Fajar.