ICW Nilai Hakim Praperadilan Keliru Soal 2 Alat Bukti Kasus Eks Wamenkumham

Eks Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy. Medcom.id/Candra Yuri

ICW Nilai Hakim Praperadilan Keliru Soal 2 Alat Bukti Kasus Eks Wamenkumham

Candra Yuri Nuralam • 31 January 2024 16:15

Jakarta: Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai putusan praperadilan mantan Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy janggal. Sebab, hakim tidak melihat seluruh bukti yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari kasus dugaan suap dan gratifikasi tersebut.

“Hakim Estiono hanya melihat sebagian kecil dari alat bukti yang dikumpulkan oleh KPK,” kata Peneliti dari ICW Kurnia Ramadhana melalui keterangan tertulis, Rabu, 31 Januari 2024.

Kurnia mengatakan KPK sudah memaparkan banyak bukti terkait perkara tersebut dalam persidangan. Bahkan, ada 80 dokumen yang diyakini penyidik menjelaskan keterlibatan Eddy dalam penerimaan suap, dan gratifikasi.

“KPK telah menemukan sebanyak 80 surat atau dokumen, keterangan dari 16 orang saksi termasuk Eddy sendiri, dan satu orang ahli,” ujar Kurnia.

ICW juga mengaku bingung dengan hakim yang menyatakan KPK kurang dua alat bukti. Padahal, puluhan berkas yang dibeberkan dalam praperadilan dinilai sudah sesuai dengan ketentuan dua alat bukti berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP.

ICW juga bingung dengan alasan hakim mempermasalahkan waktu pencarian alat bukti yang dilakukan KPK berdasarkan Putusan MK K Nomor 21/PUU-XII/2014, Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA) Nomor 4 Tahun 2016, dan Pasal 44 ayat (2) UU KPK. Tiga beleid itu tidak menjelaskan waktu yang tepat bagi penegak hukum mencari bukti dalam penanganan perkara.

“Baik putusan MK dan PERMA tersebut tidak mengatur dan tidak membatasi tentang kapan tahapan bukti permulaan harus diperoleh oleh penyelidik maupun penyidik untuk menetapkan tersangka,” tegas Kurnia.
 

Baca juga: KPK Nilai Hakim Keliru Gunakan Acuan Pasal Penetapan Tersangka Eks Wamenkumham


Hakim Tunggal Estiono menilai status tersangka terhadap Eddy tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Status hukum itu juga dinilai tidak mengikat dan memiliki kekuatan hukum.

Hakim juga menolak semua eksepsi dari KPK. Lembaga Antirasuah juga dibebankan biaya perkara.

Eddy mengajukan praperadilan atas penetapan tersangka terhadapnya. Salah satu protes eks wamenkumham itu yakni soal kesepakatan pemberian status hukum yang tidak dilakukan secara kolektif kolegial.

KPK menetapkan empat tersangka dalam kasus dugaan penerimaan suap dan gratifikasi di Kemenkumham. Yakni, Dirut PT CLM Helmut Hermawan, eks Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej, pengacara Yosi Andika Mulyadi, dan Asisten Pribadi Eddy, Yogi Arie Rukmana. Status tersangka untuk Eddy digugurkan melalui praperadilan.

Eddy diduga menerima Rp8 miliar dari Helmut. Dana itu untuk mengurus sengketa status kepemilikan PT CLM, penghentian perkara di Bareskrim, dan dana keperluan pribadi berupa pencalonan Ketua Pengurus Pusat Persatuan Tenis Seluruh Indonesia (PP Pelti).

Total uang yang diterima itu belum final. KPK bakal mengembangkan dugaan adanya aliran dana lain yang masuk kepada Eddy. Saat ini, baru Helmut yang ditahan.

Helmut disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Eko Nordiansyah)