Sawit, Banjir, dan Jebakan Saling Menyalahkan

Ilustrasi kebun sawit. Foto: dok Ditjenbun Kementan.

Sawit, Banjir, dan Jebakan Saling Menyalahkan

Ade Hapsari Lestarini • 21 December 2025 14:54

Jakarta: Beberapa minggu terakhir, isu bencana alam kembali ramai diperbincangkan. Banjir bandang dan longsor terjadi di berbagai daerah, menimbulkan korban, kerugian ekonomi, serta kegelisahan sosial. Dalam situasi seperti ini, sektor perkebunan kelapa sawit kembali menjadi sorotan. Tidak jarang, sawit langsung ditempatkan sebagai pihak yang harus bertanggung jawab.

Saya ingin menegaskan sejak awal, persoalan ini tidak sesederhana itu. Bencana alam bukan semata urusan teknis perkebunan. Ia menyangkut keselamatan manusia, keberlanjutan ekonomi, dan kelestarian ekosistem secara bersamaan. Ketika kita menyederhanakan persoalan banjir hanya menjadi "sawit atau bukan sawit", kita justru berisiko kehilangan akar masalah yang sesungguhnya.

Kita harus jujur mengakui dalam beberapa tahun terakhir, frekuensi banjir bandang dan longsor memang meningkat. Dampaknya tidak kecil. Selain menyebabkan korban jiwa dan materi, dunia usaha juga ikut terpojok, reputasi industri sawit kembali dipertanyakan, dan ruang diskusi publik sering kali dipenuhi emosi. Padahal, di sisi lain, sawit telah menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Jutaan tenaga kerja bergantung pada sektor ini, ekonomi pedesaan bergerak karenanya, dan devisa negara ditopang oleh kinerja ekspornya. Tidak banyak industri yang memiliki daya ungkit sebesar ini.
 




Dewan Pembina Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Prof. Bungaran Saragih
 

3 titik krusial perlu dibahas


Karena itu, tantangan sesungguhnya bukan memilih antara sawit atau bukan sawit. Tantangannya adalah bagaimana sawit dikelola dengan benar: berbasis data, ilmu pengetahuan, dan berorientasi jangka panjang, agar risiko bencana dapat diminimalkan, bukan diperbesar. Menurut pandangan saya, setidaknya ada tiga titik krusial yang perlu dibahas secara jujur dan terbuka.

Pertama, soal data. Hubungan antara banjir bandang dan sawit sering kali terjebak dalam ruang saling menyalahkan. Ironisnya, yang paling keras menyalahkan justru sering datang dari mereka yang tidak memiliki cukup informasi. Ada yang menuding sawit sebagai penyebab tunggal banjir, ada pula yang menolak sepenuhnya kemungkinan adanya keterkaitan. Padahal, yang kita butuhkan adalah data spasial dan hidrologis yang kuat, analisis ilmiah yang independen, serta pemetaan risiko yang dapat dipercaya. Tanpa data yang terbuka dan dapat diakses bersama, pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat akan terus berjalan dengan asumsi masing-masing.

Kedua, soal tata kelola lahan dan perubahan penggunaan lahan. Risiko banjir tidak hanya ditentukan oleh ada atau tidaknya kebun sawit. Yang jauh lebih menentukan adalah bagaimana tutupan lahan itu dikelola. Apakah kawasan lindung dan sempadan sungai benar-benar dilindungi? Apakah daerah resapan air dan hulu daerah aliran sungai dikelola secara benar? Apakah penyiapan lahan dilakukan dengan memperhatikan struktur tanah dan sistem drainase, atau justru merusaknya? Di sinilah pentingnya sinkronisasi antara tata kelola perizinan, penegakan hukum, dan penerapan standar keberlanjutan yang konsisten.

Ketiga, solusi keberlanjutan dan kemitraan multipihak. Jika kita sepakat risiko banjir bandang perlu dikurangi, maka solusinya tidak bisa dibebankan pada satu aktor saja. Pemerintah harus hadir melalui penataan ruang yang tegas, pengawasan yang konsisten, serta pemberian insentif bagi praktik yang baik dan sanksi bagi praktik yang merusak.

Pelaku usaha wajib menjalankan budi daya yang bertanggung jawab. Akademisi, masyarakat sipil, dan media berperan penting dalam mengawal kebijakan agar tetap berpijak pada data dan ilmu pengetahuan. Saya percaya, industri kelapa sawit tidak seharusnya ditempatkan sebagai kambing hitam bencana. Sebaliknya, dengan tata kelola yang benar, transparan, dan berkelanjutan, sawit justru dapat menjadi bagian dari solusi, baik dalam pengelolaan risiko bencana maupun dalam pembangunan ekonomi nasional. Kuncinya adalah berhenti saling menyalahkan, dan mulai bekerja bersama dengan data, akal sehat, dan orientasi jangka panjang.
 

Dewan Pembina Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Prof. Bungaran Saragih

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Ade Hapsari Lestarini)