Ilustrasi transisi energi. Foto: Koaksi Indonesia.
Naufal Zuhdi • 13 October 2024 10:43
Jakarta: Presiden terpilih Prabowo Subianto menargetkan pertumbuhan ekonomi meningkat hingga delapan persen di masa pemerintahannya. Merespons hal tersebut, Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang percepatan transisi energi melalui pengembangan energi terbarukan dapat mendukung pencapaian target pertumbuhan ekonomi hingga delapan persen tersebut.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengungkapkan, untuk memenuhi komitmen Indonesia yang telah meratifikasi Persetujuan Paris demi mitigasi kenaikan suhu bumi di 1,5 derajat celsius, maka percepatan transisi energi sangat diperlukan. Menurutnya, peluang pertumbuhan ekonomi dari transisi energi dapat dicapai melalui tiga jalur pengembangan energi terbarukan.
"Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dengan transisi energi, dapat dilakukan dengan, pertama, diversifikasi industri energi bersih. Pengembangan industri energi terbarukan akan merangsang sektor industri kita dengan menciptakan peluang rantai pasok dan manufaktur energi terbarukan, seperti sel dan modul surya, turbin angin, dan komponen mobil listrik dan industri rantai pasoknya," kata Febby dikutip dari keterangan resminya, Minggu, 13 Oktober 2024.
Kedua, lanjut dia, pengembangan infrastruktur hijau yang dapat menarik investasi seperti pembangunan transmisi, jaringan pintar (smart grid), dan penyimpanan energi (energy storage).
"Ketiga, pembangunan ekowisata yang ramah lingkungan, contohnya inisiatif Bali Net Zero Emission (NZE) 2045. Jika berhasil menjadikan Bali sebagai Pulau Energi Terbarukan akan memberikan nilai tambah bagi pariwisata Bali," jelas Fabby.
(Ilustrasi energi ramah lingkungan melalui pemanfaatan EBT. Foto: Medcom.id)
Fabby juga mendorong pemerintah untuk melakukan setidaknya tiga reformasi kebijakan untuk membuka peluang investasi di energi terbarukan. Pertama, reformasi subsidi energi fosil dan penetapan harga karbon, dengan menghapus subsidi energi fosil yang mendistorsi pasar dan menyulitkan energi terbarukan bersaing dan menetapkan kebijakan harga karbon yang efektif.
Kedua, reformasi pembiayaan infrastruktur, melalui penggunaan instrumen dana publik untuk menarik investasi, dan mengembangkan blended finance dan instrumen pendanaan hijau seperti green bond untuk mendukung proyek energi terbarukan dan efisiensi energi, serta mengoptimalkan dana iklim seperti pemanfaatan pajak karbon (carbon tax) untuk mendanai transisi energi.
"Ketiga, membangun kemitraan dan kerja sama internasional. Sebagai negara ekonomi terbesar di ASEAN, Indonesia perlu memposisikan diri sebagai pemimpin dalam kemitraan energi bersih secara global maupun Asia Tenggara dan bekerja sama dengan negara-negara yang menguasai teknologi energi bersih untuk mendorong alih teknologi dan pendanaan proyek energi bersih," papar dia.
Lebih lanjut, IESR menekankan proses transisi energi harus adil dan inklusif sehingga mempersempit kesenjangan pendapatan. Selain itu, manfaat transisi energi harus dirasakan oleh seluruh masyarakat.
Baca juga: Potensi EBT Indonesia Besar, Tapi Baru Mencapai 3.600 MW |