Kemendag Belum Dilibatkan dalam Perumusan Kebijakan Kemasan Rokok Polos

Ilustrasi. Foto: dok MI/Panca Syurkani.

Kemendag Belum Dilibatkan dalam Perumusan Kebijakan Kemasan Rokok Polos

Despian Nurhidayat • 20 September 2024 15:13

Jakarta: Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengaku belum dilibatkan secara resmi dalam perumusan kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK), yang merupakan turunan dari PP Nomor 28 Tahun 2024. Kemendag juga menekankan pentingnya penelitian yang solid dalam mengimplementasikan aturan tersebut di Indonesia.

Negosiator Perdagangan Ahli Madya Kemendag Angga Handian Putra menegaskan pihaknya belum terlibat resmi dalam perumusan RPMK. Sejalan dengan itu, Kemendag juga tengah memberikan perhatian khusus terhadap aturan tersebut, utamanya mengenai kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek.

Angga berpandangan kemasan rokok polos tanpa merek tidak hanya mengatur tampilan produk, tetapi juga dapat berdampak pada hak-hak pengusaha, pedagang, dan perdagangan internasional.

"Kemasan rokok polos tanpa merek ini dapat menyinggung perdagangan dan mengganggu hak-hak pedagang," ungkap Angga, Jumat, 20 September 2024.

Ia turut memandang masih dibutuhkan studi ilmiah lebih jauh terhadap upaya menurunkan prevalensi perokok melalui kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dengan mengacu pada Convention on Tobacco Control (FCTC), dan Indonesia belum meratifikasi aturan global tersebut.

Kendati Australia menerapkan kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek, kata Angga, hal ini tidak bisa langsung diadopsi oleh Indonesia tanpa kajian mendalam. Oleh karena itu, dia berharap Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dapat membuktikan regulasi melalui penelitian yang solid.

"Kami membutuhkan studi ilmiah untuk mendukung efektivitas kebijakan ini. Struktur perdagangan Indonesia berbeda dengan negara lain," kata Angga.
 

Baca juga: Capai Rp213 Triliun, Sumbangan Industri Rokok Lebih Besar dari BUMN
 

RI jangan asal-asalan ikut tren kebijakan dunia


Padahal, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengingatkan agar bangsa Indonesia tidak boleh asal-asalan dalam mengikuti tren kebijakan dunia, termasuk soal FCTC.

"Saya tidak ingin kita sekadar ikut-ikutan, atau mengikuti tren atau karena sudah banyak negara yang sudah ikut sehingga kita juga latah ikut," kata Jokowi saat membuka rapat terbatas di Kantor Presiden pada 2016.

Jokowi menambahkan, ikut atau tidaknya Indonesia ke dalam FCTC akan terlebih dulu dikaji secara mendalam terutama terkait dampaknya pada tenaga kerja. Presiden juga memikirkan nasib petani tembakau yang terancam kehilangan lapangan kerja jika ratifikasi dilakukan.

"Kita perlu memikirkan, ini yang kadang-kadang juga dilupakan kelangsungan hidup para petani tembakau, para buruh tembakau yang hidupnya bergantung dari industri tembakau. Ini juga tidak kecil, menyangkut orang yang sangat banyak," ucap Jokowi.


(Rokok ilegal yang disita Bea Cukai. Foto: Medcom.id/Andi Aan Pranata)
 

Keberlangsungan hidup pedagang terancam


Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Pasar Rakyat Seluruh Indonesia (APARSI) Suhendro mengungkapkan keprihatinannya terhadap dampak ekonomi dari PP 28/2024.

Ia menilai larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari sekolah dan tempat bermain anak akan membebani pedagang, terutama di pasar tradisional yang sudah tertekan oleh perdagangan online.

"Kami mengikuti standar yang ada, tetapi jika larangan itu diterapkan, keberlangsungan hidup pedagang akan terancam," ujar dia.

Suhendro juga menyoroti kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek yang akan menyulitkan konsumen dalam membedakan rokok legal dan ilegal. Ia berpendapat perubahan ini dapat merugikan merek-merek tertentu yang memiliki konsumen loyal.

Efektivitas kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dan zonasi larangan penjualan produk tembakau ini perlu dipertanyakan. Menurut Suhendro, untuk mencapai tujuan pemerintah soal kesehatan masyarakat perlu kajian mendalam dan peran semua pihak.

"Perlu kajian yang mendalam dan partisipasi aktif dari semua pemangku kepentingan," tegas dia.

Menurutnya, masyarakat perlu diberikan edukasi lebih mengenai perbedaan antara produk legal dan ilegal, bukan hanya sekadar menerapkan kebijakan yang membingungkan.

Kedua narasumber sepakat edukasi kepada masyarakat harus menjadi prioritas. Suhendro menekankan pentingnya kolaborasi dengan pemerintah untuk meningkatkan kesadaran akan risiko merokok. Sementara Angga berharap agar peraturan yang diterapkan bisa berbasis data dan penelitian yang valid.

Mereka juga menyoroti pentingnya pendekatan yang lebih manusiawi dalam mengatasi isu kesehatan masyarakat. "Hidup harus bahagia, dan edukasi adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang lebih sehat," tegas Suhendro.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Husen Miftahudin)