Ilustrasi. Foto: Medcom
Tri Subarkah • 28 June 2025 09:05
Jakarta: Pengajar hukum pidana pada Universitas Trisakti Azmi Syahputra mengatakan penerapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2025 tentang Penanganan Secara Khusus dan Pemberian Penghargaan bagi saksi pelaku alias justice collaborator (JC) haruslah selektif. Jangan sampai, PP tersebut jangan sampai dijadikan alat transaksi jual beli status JC.
Menurut Azmi, ketentuan yang tertuang dalam Pasal 4 PP Nomor 24 Tahun 2025 telah memberikan dasar hukum yang jelas terkait efektifitas kualitas penegakan hukum maupun insentif kepada JC. Yakni, mereka yang bukan pelaku utama agar mau membantu aparat penegak hukum mengungkap tindak pidana, termasuk korupsi dan kejahatan terorganisasi.
Ia berpendapat, PP tersebut berpotensi menjadi instrumen efektif dalam kasus- kasus tertentu, misalnya megakorupsi dengan kerugian negara besar dan terorganisir. Tujuannya, untuk mengungkap aktor dan jaringan kejahatan yang lebih luas.
"Namun, penerapannya harus pula selektif, ketat dan berhati-hati mengacu pada standar hukum yang jelas untuk menghindari penyalahgunaan, terutama dalam kasus yang sensitif dan berpotensi politis," kata Asmi saat dikutip dari Media Indonesia, Sabtu, 28 Juni 2025.
Salah satu contoh yang diberikan Azmi terkait pengakuan dalam kasus dugaan korupsi perintangan penyidikan sejumlah perkara yang ditangani Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM-Pidsus) Kejaksaan Agung dengan terdakwa Marcella Santoso.
Lewat tayangan video yang diputar pihak Kejagung, menyatakan permintaan maaf karena telah menyebarkan narasi negatif soal Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin sampai Presiden Prabowo Subianto. Ia juga menyinggung konten terkait petisi RUU TNI dan Indonesia Gelap.
Baca juga: Perlindungan Khusus Justice Collaborator Ikut Diatur di Revisi KUHAP |