Aturan Co-payment Asuransi Ditunda, OJK Diminta Konsolidasi Kebijakan

Ilustrasi. Foto: Dok istimewa

Aturan Co-payment Asuransi Ditunda, OJK Diminta Konsolidasi Kebijakan

Insi Nantika Jelita • 1 July 2025 10:25

Jakarta: Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunda penerapan ketentuan pembagian biaya atau co-payment dalam produk asuransi kesehatan sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran (SE) OJK Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan.

Aturan ini sebelumnya mewajibkan mekanisme co-payment sebesar minimal 10 persen dari total klaim, dengan batas maksimal Rp300 ribu untuk layanan rawat jalan dan Rp3 juta untuk rawat inap. Penundaan tersebut merupakan hasil kesepakatan dalam rapat kerja antara Komisi XI DPR RI dan OJK pada Senin, 30 Juni 2025.

"Dalam kesimpulan ini, OJK menunda pelaksanaan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 7 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan," ujar Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun yang memimpin jalannya rapat tersebut.

Dia menjelaskan pembayaran co-payment 10 persen dari total klaim ditunda hingga ketentuan tersebut disahkan melalui Peraturan OJK (POJK). Pemerintah masih memiliki waktu hingga 1 Januari 2026 untuk merampungkan proses pengesahan tersebut sebelum resmi diberlakukan.

"Kita menganggap waktu yang tersedia cukup untuk melakukan konsolidasi dari sisi kebijakan," tambah Misbakhun.

Misbakhun itu juga menekankan Komisi XI DPR RI menjalankan meaningful participation dengan menyerap berbagai aspirasi dari pemangku kepentingan sebelum aturan diterapkan secara penuh.
 

Baca juga: 

Pinjol Diawasi OJK, Ini Aturan dan Dasar Hukumnya



(Ilustrasi OJK. MI/Ramdani)

Alasan OJK terbitkan aturan co-payment

Sementara, Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar menjelaskan latar belakang diterbitkannya kebijakan ini. Menurutnya, aturan co-payment diperlukan karena kapasitas industri asuransi di Indonesia saat ini masih terbatas dalam memberikan perlindungan secara menyeluruh.

Mahendra memaparkan aset perusahaan asuransi di Indonesia hanya setara 5,1 persen dari produk domestik bruto (PDB), tertinggal jauh dari rata-rata negara ASEAN yang berada di kisaran 15 persen. Singapura bahkan mencatatkan angka hampir 70 persen dari PDB.

Tingkat penetrasi asuransi di Indonesia juga masih rendah, dengan rasio total premi terhadap PDB masih di bawah tiga persen. Sebagai pembanding, rata-rata negara ASEAN berada pada 3–5 persen, dan Singapura telah melampaui angka 10 persen.

“Berkaitan dengan itu, kami melihat kualitas dan cakupan perlindungan dari risiko kesehatan yang diberikan industri asuransi masih sangat terbatas,” ujar Mahendra.

Dia menambahkan, studi regional menunjukkan adanya kesenjangan perlindungan (protection gap) di kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia, yang nilainya ditaksir mencapai USD886 miliar pada 2022. Kesenjangan ini menunjukkan banyaknya risiko kesehatan, termasuk bencana alam, penyakit kritis, dan lainnya yang belum sepenuhnya terlindungi.

Indonesia juga dihadapkan pada tantangan inflasi medis yang semakin meningkat. Pada 2023, inflasi sektor kesehatan tercatat hampir tiga kali lipat dari inflasi umum, dan diperkirakan akan mencapai 13,6 persen pada 2025. Kondisi ini dinilai mengancam keberlanjutan penyelenggaraan layanan asuransi kesehatan.

Berdasarkan kondisi tersebut, OJK menerbitkan SE Nomor 7 Tahun 2025 sebagai upaya untuk memperkuat ketahanan industri asuransi. Namun demikian, Mahendra menegaskan bahwa aturan ini hanya berlaku untuk produk asuransi kesehatan komersial dan tidak mencakup program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan. 

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Eko Nordiansyah)