Seminar RUU KUHAP di Gedung IASTH UI, Salemba, Jakarta Pusat, Kamis, 6 Maret 2025. Foto: Dok LBH Jakarta
Jakarta: Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyoroti wacana superioritas penyidikan di dalam pembahasan rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Keberadaan superioritas penyidikan dinilai akan berdampak buruk terhadap pemenuhan hak tersangka.
"Bisa berdampak pada terjadinya berbagai pelanggaran hak-hak tersangka dan potensi penyidikan yang tidak bertujuan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan,” kata Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana, melalui keterangan tertulis, Jumat, 7 Maret 2025.
Penjelasan Arif ini dikemukakan saat menjadi pembicara pada seminar bertajuk RUU KUHAP: Masa Depan Penegakan Hukum Pidana di Indonesia. Seminar digagas Koalisi Masyarakat Sipil dan Forum Riset (Fori) Pascasarjana Universitas Indonesia KSI X di Gedung IASTH UI, Salemba, Jakarta Pusat, kemarin.
Arif menekankan proses penegakan hukum yang termuat dalam rancangan KUHAP harus memiliki independensi, profesionalisme, dan berintegritas. Untuk itu, kata dia, penegakan hukum tidak boleh bertujuan untuk meningkatkan represivitas hegemoni kekuasaan.
"Harus ada kontrol yang ketat terhadap kewenangan penyidikan dan upaya paksa (termasuk penuntutan, pengadilan, dan pemasyarakatan). Bantuan hukum memiliki peran yang sangat signifikan," ujar Arif.
Merujuk pada draf rancangan KUHAP yang beredar, Arif menilai kepolisian cenderung resisten dengan usulan pembatasan dan pengawasan kewenangan. Padahal, Polri hingga saat ini tak pernah lepas dari sorotan.
Data LBH Jakarta pada rentang Januari hingga September 2023 mencatat Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) telah menerima 1.150 saran dan keluhan dari masyarakat terkait Polri. Sebanyak 1.098 di antaranya mengenai pelayanan buruk Polri.
"Kritik, aduan, serta protes dari masyarakat selalu muncul karena buruknya pelayanan perlakuan diskriminatif hingga penyalahgunaan wewenang,” ucap Arif.
Hasil penelitian LBH Jakarta bersama Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum UI juga menemukan ada 1.144.108 perkara yang diterima pada 2012-2014. Dari jumlah tersebut hanya 645.780 perkara yang diproses.
Dari jumlah itu sebanyak 386.766 dilengkapi surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) dan diterima kejaksaan dalam lingkup pidana umum. Sedangkan sisanya, sebanyak 255.618 perkara masih mengendap dan 44.273 perkara diduga hilang begitu saja.
Arif mengatakan revisi KUHAP hendaknya dapat menghapus problem yang terjadi secara faktual di proses penyidikan. Masalah tersebut antara lain salah tangkap, intimidasi dalam proses pemeriksaan, penyiksaan, rekayasa kasus, rekayasa bukti pemerasan, dan penghalangan bantuan hukum.
Ada pula manipulasi bantuan hukum, penolakan laporan, tidak boleh menghadirkan saksi/ahli, praktik berita acara interview dan klarifikasi (pemaksaan pemberian keterangan BAP, pemaksaan tanda tangan), keterbukaan ruang sidang hingga independensi peradilan.
Bisa melahirkan kewenangan absolut
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menilai penambahan kewenangan penyidik kepolisian seperti beredar dalam draf Rancangan KUHAP berpotensi memberikan kewenangan absolut.
Sejumlah pasal dalam draf RUU KUHAP menjadi sorotan Bambang, salah satunya Pasal 16 (1). Di situ tertera penyidikan memungkinkan untuk dilakukan tanpa harus terlebih dahulu memberitahu penuntut umum.
"Hal ini menghilangkan prinsip check and balances dalam sistem peradilan pidana," kata Bambang.
Pasal lain yang menjadi perhatian Bambang adalah Pasal 94, Pasal 22 (1) dan (2), serta Pasal 69 (1). Tercatat penyidik dapat menawarkan kepada tersangka atau terdakwa yang perananannya paling ringan untuk menjadi saksi mahkota dalam perkara yang sama.
Bambang mengingatkan semangat revisi KUHAP adalah membangun perlindungan pada hak-hak warga negara. Mulai dari upaya abuse of power, baik dari penyidik, penuntut, maupun kekuasaan kehakiman.
"Selama ini, terkait penyidikan, kontrol pengawasannya nyaris tidak ada. Revisi KUHAP ini harus memberikan ruang untuk kontrol dan pengawasan," kata dia.
"Siapa yang mengawasi siapa itu penting. Entah nanti dalam KUHAP pengawasannya dalam bentuk koordinasi, dominus litis pada kejaksaan atau hakim komisioner, itu penting. Kalau tidak kesewenang-wenangan yang selama ini terjadi oleh penyidik kepolisian akan terus terjadi,” lanjut Bambang.
Praktik di sejumlah negara
Dosen Fakultas Hukum UI, Febby Mutiara Nelson, memberi gambaran sejumlah negara perihal koordinasi penyidikan. Di Perancis, misalnya, tugas dan wewenang aparat penegak hukum diatur dalam the French Code de Procedure Penale (CPP). Dalam melaksanakan tugas penyidikan, polisi berada di bawah arahan jaksa.
"Dalam menjalankan tugas tersebut jaksa memberikan arahan dan mengawasi penahanan yang dilakukan polisi. Untuk tindak pidana serius dan kompleks, jaksa memproses perkara tersebut dan bertanggung jawab atas investigasi," kata Febby.
Kondisi berbeda terjadi di di Belanda yang memakai sistem inkuisitorial. Dalam hal penyidikan dan penuntutan, kewenangan tertinggi dipegang Board of Prosecutors General, yaitu komisi yang terdiri atas 3 hingga 5 penuntut umum.
Lembaga ini merupakan pemimpin lembaga penuntutan di Belanda dan memiliki kewenangan mengawasi pelaksanaan penyidikan dan penuntutan. Dalam perkara serius, jaksa terlibat langsung dalam penyidikan.
"Pada praktiknya, jaksa bersama polisi mengambil berbagai keputusan strategis terkait lingkup penyidikan, pelaksanaan upaya paksa, dan juga memeriksa orang dalam penyidikan," kata Febby.
Sementara di Amerika Serikat, lanjut dia, model koordinasi antara polisi dan jaksa bersifat horizontal. Berbeda dengan Belanda dan Perancis yang menerapkan sistem vertikal.
Meski sejajar dengan kepolisian, jaksa di Amerika Serikat berperan sebagai penjaga pagar (gate keeper) bagi setiap perkara pidana yang diterimanya. "Pada akhirnya, jaksa yang menentukan pasal yang akan didakwakan dan juga kecukupan alat bukti," kata dia.
Rekomendasi untuk Indonesia
Melihat dari sejumlah sistem yang ada di berbagai negara itu, Febby merekomendasi peningkatan koordinasi antara penyidik dan penuntut umum dalam revisi KUHAP. Koordinasi tersebut dapat berupa pembentukan forum responden dan koordinasi seperti forum koordinasi antara kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dan Mahkamah Agung (mahkejapol), penyidikan dan penuntutan, hingga gelar perkara.
Selain itu, menurut dia, diperlukan penguatan mekanisme pengawasan dalam sistem peradilan pidana yang dapat berupa perluasan praperadilan atau pembentukan hakim komisaris atau Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP).
"Rekomendasi lainnya yaitu efisiensi dalam proses penegakan hukum. Pembatasan waktu dengan pemanfaatan teknologi informasi," ujar Febby.