SEORANG kawan langsung memberi ponten 6,5 dari 10 begitu keluar dari bioskop selepas menonton film Pengepungan di Bukit Duri. Dia berandai-andai, jika punya anak yang sudah cukup umur, tidak akan memberikan izin untuk menonton film garapan Joko Anwar tersebut.
Pengepungan di Bukit Duri bercerita tentang sekelompok anak bengal yang mencoba untuk mengeksekusi gurunya, Edwin (Morgan Oey). Jefri (Omara Esteghlal), si pemimpin geng, kesal dengan perlakuan Edwin yang mempermalukan dia di depan kelas. Kekesalan Jefri semakin bertambah karena Edwin berasal dari ras tertentu yang memang dibenci oleh dia.
Dari sudut pandang penceritaan, film yang diproduksi Come and See Pictures ini sangat sederhana. Bahkan terkesan membosankan. Alurnya pun dibuat linear dengan sedikit lompatan waktu yang mudah dipahami.
Tapi agaknya Jokan, sapaan Joko, tak menitikberatkan pada sektor itu. Dia justru mengajak penonton film Pengepungan di Bukit Duri untuk berefleksi. Dia menawarkan diri untuk membuka luka lama tragedi kekerasan rasial yang menimpa Indonesia pada kerusuhan Mei 1998.
Akar dari film ini adalah kekerasan rasial yang dibiarkan terus bertumbuh. Ketika otoritas tak mampu mengendalikan, kekerasan ini terus berkembang dan mendarah daging. Lahirnya para anak Dajal–sebutan para penonton untuk anggota kelompok yang dipimpin Jefri–ibarat ranting dari pohon kekerasan rasial yang dibiarkan tumbuh liar dan menjalar.
Di beberapa kesempatan, Jokan pun menyatakan jika kekerasan yang digambarkan dari film Pengepungan di Bukit Duri adalah dampak ikutan. Collateral damage dari sistem pemerintahan yang tak mapan, alih-alih melakukan pembiaran.
Mutan ciptaan Jokan
Joko lantas mengombinasikan kekerasan rasial ini dengan fenomena kenakalan remaja yang kerap meletup di akar rumput, terutama di kalangan anak-anak SMP dan SMA. Maka, terciptalah semacam mutan pada diri Jefri dan teman-temannya. Para mutan inilah yang menjadi
villain sempurna bagi tokoh ‘hero’ pada diri Edwin.
Mutan ciptaan Joko ini sukses menjadi teror nyata bagi penonton. Lewat mereka, Joko juga berhasil menyelipkan pesan yang mungkin sudah menjadi keresahannya bertahun-tahun akan kondisi ketimpangan di Indonesia.
Pesan yang disisipkan Joko pada tokoh-tokoh rekaannya juga terasa begitu subtil. Ambil sampel pada tubuh penuh luka Jefri. Sorotan kamera dengan sengaja memperlihatkan detil luka-luka itu. Dari anasir tersebut jelas Joko ingin membangun karakter penuh trauma pada diri Jefri tanpa harus menjelas-jelaskan kepada penonton.
Umpatan-umpatan macam “babi”, “anjing”, atau “tai”—bahkan beberapa ada yang tak senonoh–juga bukan sekadar gagah-gagahan. Bahasa kasar ini bisa menjadi penanda penting situasi kaos yang ingin dihadirkan pada film ini. Merujuk pada pergaulan masa remaja, ungkapan kasar sudah menjadi bahasa sehari-hari mereka dari dulu sampai sekarang. Dan penuturan bahasa sarkas ini semakin menambah intim penonton pada setiap karakter tokoh.
Lantas, pantaskah film ini ditonton oleh para remaja? Beralasankah kekhawatiran kolega saya di awal tulisan ini bahwa film
Pengepungan di Bukit Duri justru akan menumbuhkan perilaku kekerasan?
Implementasi Kurikulum Cinta
Di film ini, Joko tampak ingin menggugah kesadaran kolektif penonton akan tak bermutunya kekerasan. Seberapa pun besarnya emosi Joko meluapkan keresahan, film mampu menyalurkan amarah dia secara positif. Pada titik ini saya kira Joko sudah menerapkan konsep Kurikulum Cinta yang digaungkan Menteri Agama Nasaruddin Umar.
Imam Masjid Istiqlal itu mendefinisikan Kurikulum Cinta sebagai landasan penting dalam membentuk kesadaran kolektif untuk mengikis dehumanisasi dan kerusakan alam. Dehumanisasi ditandai terutama dengan kerap terjadinya praktik kekerasan dan konflik yang menimbulkan korban jiwa.
Saking pentingnya, Nasaruddin bersama Paus Fransiskus bahkan merumuskan Deklarasi Istiqlal yang ditopang oleh konsep Kurikulum Cinta. Deklarasi Istiqlal digaungkan pada 4 Februari 2025 saat Paus berkunjung ke Indonesia.
Melalui film
Pengepungan di Bukit Duri, Joko tampak ingin menunjukkan betapa kekerasan, bahkan kekejaman, hanya akan memperlebar kerusakan. Joko ingin membangun kesadaran kolektif akan kekerasan rasial yang masih menjadi pengalaman traumatik bagi masyarakat Indonesia hingga saat ini.
Joko berani membuka luka itu. Mencoba mengobatinya walaupun terasa perih. Menjahitnya kembali untuk setidaknya bisa memulihkan trauma. Dengan harapan, tentu saja agar bisa meruntuhkan pohon kekerasan dan konflik.
Jadi, jangan sungkan untuk ‘beribadah’ ke bioskop menonton film
Pengepungan di Bukit Duri. Ingatan akan trauma, ketika kita mampu mengambil jarak darinya, niscaya akan bisa menghadirkan cinta.[]