Rancangan KUHAP Dinilai Masih Belum Selaras KUHP

Ilustrasi. Foto: Metrotvnews.com/Amal

Rancangan KUHAP Dinilai Masih Belum Selaras KUHP

Wandi Yusuf • 28 May 2025 20:47

Jakarta: Rancangan Kitab Umum Hukum Acara Pidana (KUHAP) dinilai masih belum selaras dengan Kitab Umum Hukum Pidana (KUHP). Beberapa ketidakselarasan itu di antaranya soal ultimum remedium, pedoman pemidanaan, sinkronisasi dalam pelaksanaan pidana dan tindakan, dan ketidakterpaduan antara penyidikan dan penuntutan. 

"Artinya Rancangan KUHAP belum mampu menjamin keadilan dan hak asasi manusia dalam setiap proses hukum," kata pakar hukum peradilan anak dari Universitas Bina Nusantara (Binus) Ahmad Sofian melalui keterangan tertulis, Rabu, 28 Mei 2025.

Dia memandang, meski dalam penjelasan Rancangan KUHAP disebutkan menganut integrated criminal justice system, namun kenyataannya hubungan antarinstitusi penegak hukum masih berjalan sendiri-sendiri. Dominasi Polri sebagai penyidik utama dinilainya menimbulkan ketimpangan dengan PPNS dan penyidik lain. 

"Hal ini bisa mengganggu prinsip sistem peradilan pidana terpadu," kata Ahmad. 

Di sisi lain, pasal-pasal yang mengatur kewenangan penyidik seperti Pasal 7 ayat (1) dan ayat (5) memberikan keleluasaan yang sangat besar untuk melakukan penghentian penyidikan, bahkan tanpa pelibatan jaksa. 

"Ini menandakan penuntutan belum dipahami sebagai lanjutan dari proses penyidikan yang terkoordinasi secara substansial dan bukan sekadar administratif,” kata dia.

Dia juga melihat beberapa ketentuan Rancangan KUHAP memungkinkan penyidik Polri menghentikan penyidikan tanpa melibatkan jaksa. Selain itu, berpeluang memberi ruang dominasi dalam mekanisme pemberian izin upaya paksa oleh penyidik non-Polri.

“Ini tidak mencerminkan sistem terpadu, melainkan sistem subordinatif yang membuka ruang konflik kewenangan dan pengabaian prinsip checks and balances,” kata Ahmad.
 

Baca: 

RUU Perampasan Aset Dibahas Setelah Revisi KUHAP Disahkan


Pendapat Ahmad Sofian itu diuraikan saat menjadi pembicara dalam seminar nasional bertajuk Menakar Keselarasan Pengaturan Upaya Paksa dan Pemidanaan dalam RKUHAP 2025 dengan Tujuan dan Pedoman Pemidanaan KUHP Nasional. Seminar diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro bekerja sama dengan Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia pada 26 Mei 2025. 

Ahmad juga menyoroti definisi penyelidikan dan penyidikan dalam Pasal 1 angka 8 dan angka 5 Rancangan KUHAP.  Menurut dia, proses penyelidikan tampak tidak sederhana karena dalam praktiknya telah merambah ke wilayah penyidikan. 

"Banyak tindakan dalam tahap penyelidikan yang seharusnya masuk kategori penyidikan, termasuk penerapan upaya paksa, justru tidak memiliki mekanisme pengawasan," kata dia. 
 

Perkara di luar pengadilan

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Febby Mutiara Nelson, melihat Rancangan KUHAP belum mengakomodasi penyelesaian perkara di luar pengadilan secara utuh dan setara dengan perkembangan KUHP.  Febby menekankan bahwa KUHP sudah mengakui keberadaan pelaku korporasi, namun Rancangan KUHAP belum mengatur tata cara pemeriksaan, penuntutan, dan pelaksanaan putusan terhadap badan hukum. 

Di sisi lain, dia memandang mekanisme seperti restorative justice (RJ), plea bargaining, dan deferred prosecution agreement (DPA) perlu diatur secara eksplisit. Febby mengingatkan RJ tidak bisa diterapkan untuk semua perkara, terutama perkara tanpa korban langsung, dan harus dilakukan dalam kerangka koordinasi jaksa-penyidik sejak tahap awal.

Plea bargaining dan DPA sangat berguna untuk menyelesaikan perkara secara efisien dan adil, tetapi hingga kini belum mendapat legitimasi dalam Rancangan KUHAP. Kasus-kasus besar seperti Rolls Royce menunjukkan bahwa dengan DPA, negara bisa menghindari kerugian besar, menjaga stabilitas ekonomi, sekaligus tetap menegakkan keadilan,” kata Febby.

Febby juga menyoroti penggunaan Perma dan Perja sebagai satu-satunya dasar dalam penanganan perkara korporasi atau penyelesaian alternatif tanpa adanya dasar KUHAP membuka ruang disparitas dan ketidakpastian hukum.  “Jika Rancangan KUHAP tetap menutup mata terhadap dinamika ini, maka sistem hukum acara pidana Indonesia akan semakin tertinggal dari standar internasional dan praktik peradilan modern di negara-negara lain,” kata dia.

Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia, Fachrizal Afandi, memberi sorotan terhadap ultimum remedium. Menurut dia, prinsip ultimum remedium bukan hanya berlaku dalam konteks pemidanaan, tetapi juga dalam pelaksanaan upaya paksa seperti penahanan, penggeledahan, dan penyitaan. 

"Penahanan sebagai bentuk upaya paksa merupakan pembatasan kemerdekaan yang sangat serius dan harus tunduk pada prinsip necessity dan proportionality," kata dia. 

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Wandi Yusuf)