Podium MI: Punahnya Etika

Dewan Redaksi Media Group, Jaka Budi Santosa. Foto: MI/Ebet.

Podium MI: Punahnya Etika

Media Indonesia • 13 November 2025 05:42

KALAU Nicholo Machiavelli masih hidup, barangkali dia akan bingung menyaksikan perpolitikan negeri ini, Indonesia. Jika Henry John Temple masih eksis, dia mungkin sibuk garuk-garuk kepala karena kehabisan akal untuk mencerna.

Machiavelli ialah politikus, diplomat, sekaligus filsuf Italia kelahiran 3 Mei 1469 dan meninggal pada 21 Juni 1527 yang dikenal dengan teori-teori besarnya. Salah satunya ialah bahwa tujuan utama dalam politik adalah kekuasaan dan hubungan dengan pihak lain bersifat pragmatis serta dapat berubah sesuai dengan kepentingan. Tidak ada kawan atau lawan abadi dalam politik. Yang ada cuma politik. Begitu kira-kira.

Herry John Themple atau Lord Palmerston adalah pemikir politik dan pernah dua kali menjabat perdana menteri Inggris abad ke-19. Dari dialah aforisme atau prinsip umum dalam dunia politik bahwa dalam politik tidak ada lawan atau kawan yang kekal diyakini juga bersumber.

Lord Palmerston pernah bilang, "We have no eternal allies, and we have no perpetual enemies. Our interests are eternal and perpetual, and those interests it is our duty to follow." Kami tidak memiliki sekutu abadi dan kami tidak memiliki musuh abadi. Kepentingan kami bersifat abadi dan berkelanjutan, dan kepentingan itulah yang merupakan tugas kami untuk ikuti.

Baca juga: 

Dapat SK dari Menteri Hukum, Kepengurusan PSI Periode 2025-2030 Sah


Sejak ratusan tahun silam, prinsip itu berlaku. Ia universal, terjadi di mana-mana, termasuk di Indonesia. Bahkan belakangan, pakem tidak ada kawan atau lawan abadi dalam politik terasa kebangetan. Banyak alegori politik yang membuat rakyat, termasuk saya, kehabisan kata-kata. Kekurangan akal untuk bisa menerima. Logika sungsang unjuk kuasa. Machiavelli dan Palmerston boleh jadi kebingungan teorinya dipraktikkan secara ugal-ugalan.

Hanya kepentingan yang abadi. The one and only. Begitu mudah kawan menjadi lawan, musuh menjadi teman. Teramat banyak contohnya. Belakangan, saga politik seperti itu dipertontonkan lagi, lagi dan lagi. Pelakunya para pendatang baru. Pemain-pemain lama, sih, tetap saja seperti itu, tapi aktor-aktor anyar terasa gila-gilaan.

Marilah kita ambil dua contoh. Pertama ialah PSI, Partai Solidaritas Indonesia, yang didirikan anak-anak muda, tapi kini mengandalkan orang-orang tua. Yang awalnya mengedepankan idealisme, tapu larut dalam pragmatisme.

Cukup banyak sepak terjang PSI yang mencerminkan prinsip politik sekadar kepentingan. Dulu mereka mati-matian menegasikan Prabowo Subianto. Sampai-sampai memberikan Kebohongan Award pada awal 2019. Prabowo adalah rival Jokowi saat itu. Namun, sekali lagi, dalam politik ceritanya mudah berubah. Cepat atau lambat. Prabowo yang tadinya direndahkan dengan sederet catatan hitam tiba-tiba mereka banjiri dengan puja-puji untuk memimpin negeri. Prabowo akhirnya jadi presiden dan PSI ikut menikmati kue kekuasaan. Tak sia-sia.

Terkini, sikap PSI seperti itu terepitisi. Kali ini terkait dengan penetapan Pak Harto sebagai pahlawan nasional. Mendukung atau menolak seseorang menjadi pahlawan ialah hal yang lumrah. Bebas dengan segala argumennya. Yang tak lumrah ialah tadinya mati-matian menentang keras, lalu mendukung penuh. Dulu PSI kontra luar biasa dengan Pak Harto. Pada Mei 2018, mereka membeberkan sisi buruk Presiden Ke-2 RI itu melalui unggahan di akun X.

PSI membandingkan keluarga Pak Harto dengan keluarga Jokowi. Mereka menulis, 'Anak-anak Jokowi, mah, gak manfaatin jabatan bapaknya. Beda sama anak penguasa rezim Orba'. PSI juga menyoal berbagai yayasan yang dibentuk Soeharto.

Kalau mereka berubah sikap 180 derajat, itu tak lepas dari kekuasaan. Betul banget bahwa tidak ada lawan atau kawan abadi dalam politik. Namun, rasanya kok keterlaluan betul penerapan prinsip itu di sini.

Ada satu lagi yang belakangan jadi sorotan. Namanya Projo, organisasi relawan pendukung Jokowi. Belum lama ini mereka menghelat kongres. Salah satu hasilnya, Projo menanggalkan logo berupa siluet Jokowi. Mereka memilih fokus bergabung dengan barisan kekuasaan di bawah komando Prabowo. Ketua Umum Projo Budi Arie Setiadi bahkan terang-terangan bergabung ke Gerindra, bukan PSI yang merupakan partai representasi Jokowi dan dipimpin anak ragil Jokowi, Kaesang Pangarep. Projo dianggap kacang lupa kulitnya.
 
Baca juga: Budi Arie Ditolak Gabung Gerindra, Pengamat: Langkah Logis Jaga Idealisme Partai

Begitulah, kekuasaan kiranya gampang membuat plinplan orang yang tak kuat iman. Esuk dele sore tempe bosok. Dulu menghujat, kini bersahabat. Projo juga dianggap demikian. Deretan jejak digital perihal sikap mereka tentang Prabowo kembali diungkap. Dulu, pada 2014, Budi Arie menyebut Pak Prabowo berbahaya bagi demokrasi. Dulu, pada 2019, Wakil Ketua Umum Projo Freddy Damanik meminta Prabowo didiskualifikasi dari pilpres. Prabowo dia anggap menyebarkan kabar bohong perihal kebohongan Ratna Sarumpaet.

Dulu, pada 2019, Projo menolak keras bergabungnya Prabowo dalam kabinet Jokowi iilid II sebagai menteri pertahanan. Mereka bahkan membubarkan diri, tapi tak jadi setelah Budi Arie akhirnya mendapatkan jatah wakil menteri desa.

Begitulah, Projo yang dulu benci setengah mati berbalik cinta mati pada Prabowo. Tak salah pengamat bilang, mereka konsisten untuk inkonsistensi. Atas dasar apa? Adagium bahwa tidak ada lawan dan kawan abadi yang ada hanya kepentingan dalam politik, lagi dan lagi, kiranya terbukti di sini. Lebih vulgar, makin jauh dari jangkauan nalar. Bolehkah? Jangan tanya soal etika dan moral. Konon, keduanya sudah punah di perpolitikan kita.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Anggi Tondi)