Presiden AS Donald Trump. Foto: Xinhua/Hu Yousong.
Naufal Zuhdi • 1 April 2025 09:56
Jakarta: Pernyataan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump baru-baru ini mengguncang pasar energi dunia. Ia menyatakan akan menerapkan tarif sekunder sebesar 25 persen hingga 50 persen terhadap negara mana pun yang membeli minyak dari Rusia, kecuali jika Moskow menyetujui gencatan senjata dalam konflik Ukraina.
Merespons hal itu, Dosen Departemen Ekonomi Universitas Andalas Syafruddin Karimi menyebut pernyataan Trump itu memicu kekhawatiran luas.
"Dunia kini menghadapi bukan hanya konflik militer, tetapi juga potensi konflik dagang global berbasis energi. Dalam konteks ini, tarif sekunder menjadi senjata diplomatik yang menekan negara-negara mitra Rusia tanpa perlu menargetkan Rusia secara langsung," ucap Syafruddin dikutip dari keterangan tertulis yang diterima, Selasa, 1 April 2025.
Di atas kertas, sambungnya, kebijakan tarif sekunder tampak strategis. Pasalnya, AS ingin menekan Rusia secara tidak langsung dan memaksa negara lain untuk meninggalkan pasokan energi dari Moskow. Namun dalam praktiknya, kebijakan ini sangat problematik.
Lebih berbahaya lagi, kebijakan ini membuka babak baru dalam penggunaan hegemoni ekonomi AS untuk mengatur kebijakan luar negeri negara lain.
Sebagai contoh, kebijakan ini menempatkan negara-negara berkembang seperti India dalam dilema. Diketahui, India telah menjadi pembeli utama minyak mentah Rusia, mencapai 35 persen dari total impor minyaknya pada 2024.
"Mengapa? Karena minyak Rusia ditawarkan dengan harga diskon besar, sangat menguntungkan untuk menjaga inflasi dan stabilitas fiskal. Jika India harus menghindari minyak Rusia demi menghindari tarif AS, maka harga energi dalam negeri akan naik drastis," papar dia.
"Situasi yang sama bisa terjadi di banyak negara global south. Negara-negara ini tertekan antara kebutuhan energi murah dan risiko kehilangan akses ke pasar AS," jelas Syafruddin menambahkan.
Di sisi lain, meskipun Indonesia sendiri bukan pembeli langsung minyak Rusia dalam jumlah besar, tetapi sangat rentan terhadap dampak global.
"Lonjakan harga minyak akibat gejolak pasar dapat meningkatkan beban subsidi BBM, memperlemah nilai tukar rupiah, dan pada akhirnya menurunkan daya beli masyarakat," beber dia.
Baca juga: Trump Ancam akan Mengenakan Tarif Sekunder terhadap Minyak Rusia |