Ilustrasi. Medcom.id.
Jakarta: Anggota Komisi X DPR Ledia Hanifa Amaliah menyoroti mahalnya biaya kuliah di perguruan tinggi negeri (PTN). Menurut dia, saat ini justru banyak perguruan tinggi swasta (PTS) dengan akreditasi unggul yang biayanya lebih murah dari PTN.
Ledia mengatakan salah satu persoalannya adalah keleluasaan perguruan tinggi negeri yang sudah berstatus badan hukum (PTN-BH). Ia menilai PTN harus mengantisipasi beberapa hal, di antaranya dosen-dosen yang tidak lagi PNS tetapi menjadi pegawai kampus.
"Ketika bukan PNS, ukuran standarnya jadi berbeda. Misalnya saya (dosen) mau ngajar di sana dengan kompetensi saya dengan biaya yang lebih tinggi. Nah itu kan harus disiapkan juga oleh kampus," kata Ledia dalam sebuah diskusi di YouTube, dikutip Minggu, 12 Mei 2024.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengatakan pemerintah masih memberi dukungan dana kepada PTN, seperti dana penelitian dan bantuan operasional. Namun, PTN harus mandiri dalam pengembangan kampus.
PTN-BH diharapkan mempunyai badan usaha untuk membiayai pendidikan tinggi dengan biaya dari usaha yang dilakukan. Kendati, perguruan tinggi negeri memang berbasis akademik, bukan bisni.
"Jika kemudian mereka tidak berhasil, berarti kan pilihan satu-satunya adalah menaikkan biaya kuliah pada mahasiswa. Pada dasarnya ketika menaikkan biaya kuliah, mereka tidak secara sungguh-sungguh menyiapkan kampus itu sedemikian untuk bisa mandiri. Jadi benar-benar mengandalkan mahasiswa," ujarnya.
Padahal, kata Ledia, undang-undang mengamanatkan bahwa biaya kuliah dibayar sesuai dengan kemampuan mahasiswa. Ketika semua dibebankan kepada mahasiswa, yang terjadi antara lain seperti adanya pinjaman online untuk mahasiswa yang ramai diperbincangkan beberapa waktu lalu.
"Sebetulnya pinjaman, student loan, boleh tetapi tidak boleh ada persentase kelebihannya," ujarnya.
Ledia berharap PTN tidak membebankan kebutuhannya kepada mahasiswa. PTN diharuskan untuk kreatif. Selain itu, kata dia, pemerintah harus melakukan rekonstruksi terhadap dana fungsi pendidikan.
"Peguruan tinggi negeri itu biaya satuan operasionalnya yang di bawah dikbud itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang non-dikbud. (Itu harus) dibuat rata, dan ini yang dipentingkan adalah bagaimana anak-anak kita bisa mendapatkan pendidikan dengan kualitas terbaik dengan pelayanan terbaik, dengan alokasi terbaik," ujarnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf Macan Effendi juga menyoroti kenaikan
Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang terjadi di beberapa perguruan tinggi negeri (PTN). Menurutnya, kenaikan signifikan 50 persen hingga 100 persen seharusnya tidak boleh terjadi secara mendadak, melainkan bertahap.
"Mestinya secara bertahap tiap tahun ada kenaikan 10 persen, itu masih terbilang wajar. Namun, jika lonjakan terlalu besar, kita harus bertanya, inflasi apa yang menyebabkan harga pendidikan menjadi naik? Apakah mengikuti harga cabai atau harga telur?" ungkap Dede.
Dede Yusuf curiga pemotongan subsidi pemerintah kepada beberapa PTN bisa jadi penyebabnya. Jangan-jangan, kata dia, pemerintah sudah tidak lagi mensubsidi beberapa perguruan tinggi negeri.
"Seberapa jauh ini kan akhirnya kaitannya kita juga perlu telusuri, komponen-komponen apa yang menyebabkan angka pembiayaan pendidikan menjadi tinggi," ujarnya.
Dede Yusuf juga menyoroti implementasi dari status PTN-BH. Menurutnya, konsep PTNBH yang seharusnya membantu universitas mencari pendanaan di luar dari student body dan di luar subsidi pemerintah, belum berjalan dengan sempurna. Komisi X DPR RI telah membentuk Panitia Kerja (Panja) untuk mengevaluasi pelaksanaan PTNBH ini.