Haji Agus Salim. Sumber: Arsip Nasional Belanda
Whisnu Mardiansyah • 4 November 2025 09:50
Jakarta: Pada Jumat, 4 November 1954, ratusan masyarakat berjejer di sepanjang jalan menuju Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata. Mereka memberikan penghormatan terakhir kepada Haji Agus Salim, diplomat ulung, jurnalis visioner, dan ulama yang meletakkan fondasi integritas dalam politik Indonesia. Sang guru bangsa berpulang setelah puluhan tahun mengabdikan diri untuk perjuangan kemerdekaan, meninggalkan warisan keteladanan yang abadi.
Haji Agus Salim lahir di Koto Gadang, Sumatra Barat, pada 8 Oktober 1884. Nama kecilnya, Masjhoedoelhaq Salim, berarti "pembela kebenaran". Ayahnya, Sutan Mohammad Salim, bekerja sebagai jaksa di pengadilan Hindia Belanda. Ibunya dikenal sebagai perempuan yang taat beribadah dan menjunjung tinggi nilai ilmu pengetahuan.
Sejak kecil, Agus Salim menunjukkan kecerdasan luar biasa. Ia menempuh pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) dan Hogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Di sekolah Belanda tersebut, ia menjadi satu-satunya murid pribumi dengan prestasi akademik gemilang. Ia menguasai berbagai bahasa asing seperti Belanda, Inggris, Arab, Prancis, dan Jerman.
Pemerintah kolonial sempat menawarkan beasiswa untuk melanjutkan studi ke Belanda. Namun, kesempatan itu dibatalkan tanpa alasan jelas. Peristiwa ini membuka mata Agus Salim tentang ketimpangan sistem kolonial dan menumbuhkan tekad memperjuangkan martabat bangsanya.
 
Tahun 1906, Agus Salim menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Di sana, ia tidak sekadar beribadah, tetapi juga mendalami ilmu agama dan berdiskusi dengan cendekiawan Muslim dari berbagai negara. Ia mempelajari fikih, tafsir, dan logika, sekaligus mendalami politik dunia Islam.
Pengalamannya di Timur Tengah memperluas wawasan tentang nasionalisme dan modernitas Islam. Ia kembali ke Tanah Air dengan semangat baru, meyakini agama harus menjadi pendorong kemajuan dan moralitas bangsa.
"Agama tanpa pengetahuan adalah lumpuh, pengetahuan tanpa agama adalah buta," ujar Agus Salim dalam salah satu pidatonya, Rabu, 15 Agustus 1934.
Sekembalinya ke Indonesia, Agus Salim bergabung dengan Sarekat Islam (SI) pada 1915. Ia aktif menulis di berbagai surat kabar seperti Hindia Baru, Neratja, dan Fajar Asia. Tulisan-tulisannya tajam dan analitis, menyoroti ketidakadilan kolonial dan pentingnya kesadaran kebangsaan.
Gaya bahasanya sederhana namun menggugah. Ia mampu menjembatani nilai-nilai Islam dengan cita-cita nasionalisme. Dalam Sarekat Islam, Agus Salim dikenal sebagai figur peredam konflik internal antara kelompok agama dan nasionalis radikal.
Kecakapannya membuatnya dipercaya sebagai Penasehat Sarekat Islam dan intelektual paling berpengaruh pada masa pergerakan. Ia juga aktif di Volksraad (Dewan Rakyat) sebagai suara kritis terhadap kebijakan kolonial.

Agus Salim muda sumber: faisalbasri.com
Menjelang proklamasi kemerdekaan, Agus Salim diundang menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam sidang-sidang tersebut, ia tampil sebagai sosok bijak yang mampu meredam perbedaan pandangan antara tokoh nasionalis dan kelompok Islam.
Pada Panitia Sembilan, ia berperan penting dalam merumuskan naskah Piagam Jakarta, cikal bakal Pembukaan UUD 1945. Agus Salim memastikan rumusan dasar negara mencerminkan semangat persatuan bangsa tanpa memihak kelompok tertentu.
Pascakemerdekaan, kiprahnya berlanjut di dunia diplomasi. Ia menjabat Wakil Menteri Luar Negeri, kemudian Menteri Luar Negeri Republik Indonesia dalam beberapa kabinet pada masa revolusi (1947-1950).
Sebagai diplomat, Agus Salim dikenal rendah hati namun tegas. Ia memimpin delegasi Indonesia dalam berbagai pertemuan internasional untuk memperjuangkan pengakuan dunia terhadap kemerdekaan Indonesia.
Salah satu jasanya yang besar adalah menjalin hubungan dengan negara-negara Timur Tengah. Melalui pendekatan kultural dan keislaman, ia berhasil memperoleh pengakuan dari Mesir, Arab Saudi, dan beberapa negara Arab lain.

Haji Agus Salim bersama Sjahrir, Soedjatmoko, Soemitro Djojohadikusumo, dan Charles Tambu di Sidang Dewan Keamanan PBB, 1947, di Lake Success, Amerika Serikat. Dok UN
Mereka yang pernah berinteraksi dengannya menggambarkan Agus Salim sebagai pribadi jenaka, bersahaja, dan sangat rasional. Ia sering datang ke kantor Kementerian Luar Negeri hanya dengan sepeda ontel dan mengenakan peci lusuh.
Bung Hatta pernah menyatakan, "Agus Salim adalah orang yang bisa mengubah pendapat orang lain hanya dengan satu kalimat," dalam sebuah wawancara, Sabtu, 12 Juni 1954.
Ia dikenal lihai berdebat dan memiliki kecerdasan retorika memikat. Di balik kecerdasannya, ia tetap rendah hati dan menolak kehidupan mewah. Ia juga menjadi mentor bagi banyak tokoh muda seperti Mohammad Roem, Sjafruddin Prawiranegara, dan Agus Baswedan.
Menjelang akhir hayatnya, kesehatan Haji Agus Salim mulai menurun. Ia wafat pada 4 November 1954 di usia 70 tahun. Pemerintah Republik Indonesia menggelar upacara kenegaraan untuk menghormatinya. Peti jenazahnya diselimuti bendera Merah Putih dan dibawa ke Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Dalam pidato pelepasan, Presiden Soekarno menyebutnya sebagai "pendidik bangsa dan pemandu moral republik". Sementara Bung Hatta memberinya julukan "The Grand Old Man", gelar yang mencerminkan kebijaksanaan dan wibawa seorang guru bangsa.
Warisan pemikirannya tetap relevan hingga kini. Agus Salim menanamkan prinsip politik harus dijalankan dengan moral dan kejujuran. Ia juga meletakkan dasar diplomasi Indonesia yang berlandaskan perdamaian dan kehormatan bangsa.
Lebih dari sekadar tokoh sejarah, Haji Agus Salim merupakan simbol jati diri bangsa yang berpikir global tanpa kehilangan akar moral. Ia mengajarkan kekuatan Indonesia terletak pada kejujuran, ilmu pengetahuan, dan integritas.
Kini, nama Haji Agus Salim diabadikan dalam berbagai tempat: jalan utama di kota-kota besar, sekolah, hingga universitas. Namun, warisan terbesarnya adalah semangat untuk terus berpikir jernih, bertindak dengan hati nurani, dan berjuang tanpa pamrih untuk bangsa.
*Pengerjaan artikel berita ini melibatkan peran kecerdasan buatan (artificial intelligence) dengan kontrol penuh tim redaksi.