Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Medcom.
M Rodhi Aulia • 28 February 2025 11:43
Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan Koordinator Lembaga Studi Visi Nusantara, Muhamad Arifin, terkait Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Wali Kota (PHPU Walkot) Kota Banjarbaru. Keputusan ini memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Banjarbaru untuk melaksanakan pemungutan suara ulang (PSU) dengan menghadirkan kolom kosong. Berdasarkan pertimbangan Mahkamah, terdapat sejumlah penyebab yang melatarbelakangi keputusan tersebut:
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengungkapkan bahwa Pilwalkot Kota Banjarbaru mengalami kejadian khusus yang menimbulkan ketidakpastian dalam pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara. Keadaan ini terjadi setelah pasangan calon nomor urut 2, Aditya Mufti Ariffin-Said Abdullah, didiskualifikasi, tetapi gambar mereka masih terdapat dalam surat suara.
Mahkamah menekankan bahwa hak konstitusional pemilih tidak boleh dilanggar akibat kesalahan prosedural dalam penyelenggaraan pemilu. “Mahkamah pada prinsipnya tidak dapat membiarkan terjadinya pelanggaran hak konstitusional pemilih yang diakibatkan kesalahan prosedur pemungutan dan penghitungan suara dalam pemilukada,” ujar Enny di hadapan delapan hakim konstitusi lainnya, pada Senin, 24 Februari 2025.
Baca juga: 16 Daerah Disebut tak Sanggup Gelar Pencoblosan Ulang Pilkada
Pasca-didiskualifikasinya Aditya Mufti Ariffin-Said Abdullah, seharusnya surat suara menghadirkan kolom kosong sebagai bentuk pilihan bagi pemilih. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 54C ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Mekanisme ini bertujuan memastikan adanya kontestasi dalam pemilihan meskipun hanya ada satu pasangan calon.
Menurut Mahkamah, pemilu yang tidak menghadirkan kolom kosong dalam situasi satu pasangan calon bertentangan dengan prinsip demokrasi. “Pemilukada dengan satu pasangan calon tanpa adanya pilihan untuk mencoblos kolom kosong sebagai pernyataan tidak setuju dengan keterpilihan pasangan calon tersebut, menyebabkan dalam pemilihan tersebut sesungguhnya tidak terdapat 'pilihan yang bermakna',” jelas Enny.
Mahkamah menegaskan bahwa penyelenggaraan Pilwalkot Kota Banjarbaru melanggar konstitusi, khususnya Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945, yang menyatakan bahwa kepala daerah harus dipilih secara demokratis. “Pemilihan (Kota Banjarbaru) yang dilaksanakan demikian merupakan bentuk pemilihan di mana kepala daerah tidak dipilih secara demokratis, sehingga nyata-nyata bertentangan dengan amanat Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945,” tegas Enny.
Mahkamah menyoroti keputusan KPU Kota Banjarbaru yang tetap menghadirkan gambar pasangan calon nomor urut 2 dalam surat suara. Akibatnya, suara yang diberikan kepada pasangan tersebut dinyatakan tidak sah, sedangkan hanya suara yang diberikan kepada pasangan nomor urut 1 yang dianggap sah. Hal ini dianggap sebagai bentuk ketidakadilan bagi pemilih.
Mahkamah menilai KPU Kota Banjarbaru seharusnya mencetak ulang surat suara atau menunda penyelenggaraan Pilwalkot hingga surat suara yang sesuai tersedia. “Pilihan yang tidak diambil oleh Termohon, yaitu mencetak ulang surat suara dan menunda penyelenggaraan pemilihan hingga tersedianya surat suara yang sesuai merupakan pilihan yang tetap memiliki dasar diskresi yang kuat,” ujar Enny.
KPU Kota Banjarbaru memiliki waktu 29 hari sebelum hari pencoblosan untuk menyesuaikan keputusan setelah pasangan calon nomor urut 2 didiskualifikasi. Mahkamah menilai bahwa rentang waktu tersebut cukup untuk menunda Pilwalkot agar surat suara yang sesuai dapat dicetak, sehingga pemilih tetap memiliki hak memilih secara adil.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, MK dalam amar putusannya membatalkan Keputusan KPU Kota Banjarbaru Nomor 191 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2024. MK juga memerintahkan PSU dalam waktu 60 hari sejak putusan diucapkan, dengan menghadirkan dua kolom di surat suara: satu untuk pasangan calon nomor urut 1 Erna Lisa Halaby-Wartono dan satu kolom kosong sebagai bentuk pilihan lain bagi pemilih.
Selain itu, MK meminta KPU Republik Indonesia melakukan supervisi dan koordinasi dengan KPU Kalimantan Selatan dan KPU Kota Banjarbaru dalam pelaksanaan PSU. Begitu pula dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), yang diminta mengawasi jalannya PSU agar tidak terjadi lagi pelanggaran konstitusional dalam pemungutan suara di Kota Banjarbaru.