Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat (Rerie). Foto: Dok Metrotvnews.com
Jakarta: Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat (Rerie) mendorong penguatan tata kelola penanggulangan kanker di Tanah Air. Hal ini sebagai bagian perbaikan sistem kesehatan nasional.
"Penguatan tata kelola penanggulangan kanker harus konsisten dilakukan untuk menjawab berbagai tantangan yang dihadapi masyarakat dalam proses pencegahan dan pengobatan kanker," kata Rerie saat membuka diskusi dan Aspirasi Masyarakat MPR RI bertema Akses Pasien Kanker Atas Diagnosis dan Pengobatan Tepat Waktu yang digelar MPR RI, Cancer Information and Support Center (CISC), dan Forum Diskusi Denpasar (FDD) 12 secara hibrid di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 1 Oktober 2025.
Menurut Rerie, penanggulangan kanker bukan semata urusan menambah anggaran, memiliki aturan, dan tata kelola yang benar. Upaya penanggulangan kanker merupakan pemulihan hakikat dasar dari kemanusiaan yaitu hak memiliki waktu lebih lama untuk hidup, meski kita meyakini umur ada di tangan Yang Maha Kuasa.
Anggota Komisi X DPR RI itu mengatakan setiap detik yang terbuang dalam proses birokrasi dan setiap hari yang tertunda dalam penanggulangan kanker adalah momen hidup yang dirampas dari seseorang untuk memiliki kesempatan hidup lebih lama. Rerie mengakui, sistem kesehatan yang kita miliki masih menghadapi banyak tantangan.
"Tetapi kendala itu jangan dijadikan labirin yang membingungkan. Mari kita bangun sistem kesehatan nasional agar mampu menjadi 'jembatan' yang kokoh menuju kesembuhan," tegas anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu.
Pemicu keterlambatan penanganan kanker
Ketua Umum CISC, Aryanthi Baramuli Putri mengungkapkan, saat ini masih banyak pasien kanker yang datang berobat ketika sudah pada stadium tinggi. Sejumlah faktor menjadi pemicu keterlambatan penanganan pasien kanker, seperti tingkat skrining rendah, akses pengobatan yang masih sulit, dan pengobatan, serta paliatif yang tidak dijamin.
Aryanthi berharap pasien kanker dan keluarganya menjadi bagian dalam proses pembuatan kebijakan penanganan kanker di Tanah Air.
Ketua Ikatan Ekonom Kesehatan Indonesia Hasbullah Thabrany berpendapat, kanker merupakan penyakit yang tidak pilih-pilih, semua orang berpotensi terkena. Sayangnya, banyak pasien yang datang terlambat, bahkan banyak yang memanfaatkan pengobatan alternatif.
"Literasi masyarakat masih rendah dan sistem JKN juga sarat dengan keterlambatan dalam penerapannya," ujar Hasbullah.
Menurut Hasbullah, faktor sistem JKN yang kurang tepat merupakan faktor utama yang menyebabkan keterlambatan itu. Padahal, UUD 1945 mengamanatkan untuk setiap warga negara berhak atas layanan kesehatan yang baik, termasuk penderita kanker.
Namun, menurut dia, program JKN belum bisa menjamin semua tahapan pengobatan kanker. Selain itu, dalam rencana aksi nasional penanggulangan kanker perlu keterlibatan dan masukan dari publik lebih banyak lagi.
"Perlu dialog dengan para stakeholder untuk membuat kebijakan yang lebih baik," ujar Hasbullah.
Dalam kesempatan itu Hasbullah menyarankan pendapatan dari cukai rokok harus dikembalikan untuk membiayai pengobatan kanker. "Jangan sampai jadi pembiayaan untuk bangun jalan," tambah Hasbullah.
Pada kesempatan itu, Watimulyo dari CISC mengungkapkan bahwa obat kanker Transtuzumab yang masuk dalam Formulasi Nasional daftar obat yang ditanggung BPJS dan berlaku sejak 1 Maret 2024, ternyata hingga saat ini tidak bisa tersedia bagi pasien kanker. Padahal, penatalaksanaan pengobatan kanker membutuhkan pengaplikasian yang tepat waktu.
Ketua Bidang Ilmiah YKI, Elisna Syahrudin berpendapat ketidakberhasilan pengobatan kanker karena 80 persen kasusnya ditangani terlambat. Mengupayakan kesehatan dari penyakit kanker, tegas Elisna, sangat berkaitan dengan sarana pendukung lainnya dalam proses pengobatannya.
"Dari 100 orang penderita kanker paru misalnya, hanya beberapa orang yang pengobatannya dibiayai negara," ujar Elisna.
Elisna mengakui harapan hidup penderita kanker saat ini jauh lebih lama, meski obat yang tersedia masih terbatas.
Perwakilan komunitas Sahabat Lestari, Tantri Moerdopo, mengungkapkan pentingnya fungsi rumah singgah dalam proses pengobatan kanker. Namun, hingga saat ini ketersediaan rumah singgah ini tidak memiliki dasar hukum yang jelas.
Usulan profesi pendamping pasien kanker
Pada kesempatan diskusi itu juga berkembang usulan agar profesi pendamping pasien juga diakui keberadaannya sebagai bagian upaya mewujudkan proses penyembuhan kanker yang lebih efektif.
Selain itu, berkembang pula permintaan agar obat kanker ovarium ditanggung BPJS Kesehatan dan bahan titanium yang memungkinkan pasien kanker tulang bisa berjalan dibebaskan dari pajak barang mewah.
Menanggapi sejumlah usulan tersebut, Hasbullah berpendapat, seharusnya dukungan agar menjadi sehat harus diperkuat. Karena dengan sehat, tambah dia, orang bisa produktif dan menjadi sumber pendapatan negara.
"Jadi seharusnya negara mempermudah orang sakit untuk menjadi sehat. Jangan malah mengenakan pajak alat pendukung pengobatan orang yang sakit," ujarnya.
Sementara itu, Anggota Komisi IX DPR Nurhadi berpendapat banyaknya aspirasi yang diserap dalam diskusi ini sangat penting bagi lahirnya kebijakan penanggulangan kanker di Tanah Air. Angka kasus kanker yang cukup tinggi harus segera diatasi dengan mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi pasien kanker.
Ia berjanji akan segera berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk menjawab berbagai permasalahan yang ada.
"Negara harus hadir dalam upaya penanggulangan kanker dan Fraksi Partai NasDem menolak usulan kenaikan iuran BPJS Kesehatan," tegas Nurhadi.