Jumlah Produksi Kakao Nasional Makin 'Pahit', Ini Tantangan yang Dihadapi Industri

Kakao. (Dok. Kementerian Pertanian)

Jumlah Produksi Kakao Nasional Makin 'Pahit', Ini Tantangan yang Dihadapi Industri

Riza Aslam Khaeron • 12 February 2025 13:45

Jakarta: Hari Valentine yang akan jatuh pada Jumat, 14 Februari 2025, kembali menjadi momen spesial bagi banyak orang di seluruh dunia. Salah satu simbol utama dari perayaan ini adalah cokelat, yang tidak hanya menjadi hadiah favorit tetapi juga melambangkan cinta dan perhatian.

Namun, di balik manisnya cokelat, ada tantangan besar yang dihadapi oleh industri kakao, terutama di Indonesia. Berikut ini ulasan mendalam tentang berbagai permasalahan yang menghambat perkembangan sektor ini.
 

Penurunan Produksi dan Luas Lahan

Menurut laporan “Statistik Kakao Indonesia 2023” yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), luas areal kakao di Indonesia terus mengalami penurunan dari 1,56 juta hektare pada 2019 menjadi 1,39 juta hektare pada 2023.

Produksi biji kakao pun mencerminkan tren serupa, turun dari 734,8 ribu ton pada 2019 menjadi 632,1 ribu ton pada 2023. Menurut BPS, “Alih fungsi lahan ke komoditas lain yang dianggap lebih menguntungkan, seperti kelapa sawit atau tebu,” menjadi salah satu alasan utama penurunan ini.

Selain itu, degradasi lahan dan usia tanaman yang sudah tua turut memperparah situasi. Tanaman kakao tua memiliki produktivitas rendah, dan upaya peremajaan sering terhambat oleh kurangnya dukungan teknis dan finansial bagi petani kecil.
 

Kualitas Biji, Harga yang Rendah, dan Biaya Produksi Tinggi.

Kualitas biji kakao Indonesia juga menjadi perhatian utama. Menurut Boga Andri, Kepala Pusat Standardisasi Instrumen Perkebunan di Kementerian Pertanian,

“Hal ini disebabkan petani kesulitan dalam menjaga kualitas biji kakao karena keterbatasan pengetahuan tentang praktik budi daya kakao yang baik, termasuk proses fermentasi yang optimal,” ujar Boga. Akibatnya, biji kakao Indonesia sering dihargai lebih rendah di pasar internasional.

Harga jual yang fluktuatif juga menjadi tantangan besar, terutama bagi petani kecil. Ketidakstabilan pendapatan membuat petani enggan untuk berinvestasi lebih lanjut dalam peningkatan kualitas atau produktivitas tanaman mereka.

Sedangkan itu, biaya produksi malah semakin tinggi yang membebani petani.

"Harga pupuk dan bahan baku lainnya yang terus meningkat menjadi beban bagi petani. Petani kesulitan menjangkau pasar yang lebih menguntungkan atau menjual langsung kepada produsen cokelat, yang berdampak pada rendahnya keuntungan yang mereka peroleh," ujar Boga.
 

Serangan Hama dan Perubahan Iklim

Menurut Boga, perubahan iklim juga berdampak besar pada industri kakao. Pola cuaca yang tidak menentu memengaruhi siklus panen dan kualitas hasil produksi. Suhu yang lebih tinggi dan curah hujan yang tidak merata dapat menyebabkan penurunan hasil panen. Selain perubahan iklim, serangan hama kerap menjadi penghalang dalam produksi kakao.

"Serangan hama, seperti penggerek buah kakao (PBK) dan penyakit vascular streak dieback (VSD), saat ini, sering kali menyerang tanaman kakao di lapangan," ujar Boga.
 
Baca Juga:
5 Provinsi Penghasil Kakao Terbesar di Indonesia
 

Ketergantungan pada Impor Kakao

Meskipun Indonesia merupakan salah satu produsen kakao terbesar di dunia, negara ini masih mengimpor biji kakao mentah dalam jumlah signifikan untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan.

Berdasarkan data BPS tahun 2023, total volume impor kakao Indonesia mencapai 74,75 ribu ton atau sekitar 21,96?ri total impor kakao global. Negara pemasok utama adalah Ekuador, yang menyuplai 16,24?ri total impor kakao Indonesia, diikuti oleh Pantai Gading (16,24%), Nigeria (12,29%), Malaysia (9,90%), dan Guinea (7,35%).

Boga menilai, kakao dalam negeri belum mampu memenuhi permintaan industri pengolahan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
 

Upaya Pemerintah, Hilirisasi, dan Diversifikasi Produk

Pemerintah Indonesia telah mengambil beberapa langkah untuk mengatasi tantangan ini. Salah satunya adalah penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk biji kakao melalui SNI 2323-2008-Amd1-2010, yang bertujuan meningkatkan kualitas biji kakao.

Hilirisasi kakao juga menjadi strategi penting untuk meningkatkan nilai tambah. Pengembangan produk olahan seperti bubuk kakao, mentega kakao, cokelat premium, hingga kosmetik berbahan dasar kakao membuka peluang besar bagi pelaku industri.

Menurut Boga, hilirisasi tidak hanya meningkatkan nilai ekonomi tetapi juga membantu mengurangi risiko akibat fluktuasi harga biji kakao di pasar global.

“Produk olahan kakao berkualitas tinggi memiliki potensi besar untuk diekspor dan memenuhi kebutuhan pasar premium di dunia dan memenangkan hati pasar global yang menghargai produk-produk alami dan bermutu,” tambahnya. Diversifikasi produk ini juga membantu mengurangi ketergantungan pada ekspor biji kakao mentah dan menciptakan peluang pasar baru, baik domestik maupun internasional.

Dengan berbagai tantangan yang ada, industri kakao Indonesia membutuhkan perhatian lebih, baik dari pemerintah maupun sektor swasta. Investasi dalam teknologi, pelatihan petani, dan kebijakan yang mendukung keberlanjutan sangat diperlukan untuk memastikan masa depan industri ini tetap cerah.

Pada Hari Valentine 2025, cokelat mungkin akan tetap menjadi simbol cinta, tetapi keberlanjutan industri kakao menjadi tugas bersama yang tidak kalah penting untuk diperjuangkan.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Surya Perkasa)