Ilustrasi. Foto: dok MI.
Jakarta: Nilai tukar (kurs) rupiah pada pembukaan perdagangan hari ini mengalami penurunan cukup tajam, di tengah penguatan dolar Amerika Serikat (AS) imbas pengenaan tarif Trump ke 14 negara.
Mengutip data Bloomberg, Rabu, 9 Juli 2025, rupiah hingga pukul 09.45 WIB berada di level Rp16.260 per USD. Mata uang Garuda tersebut melemah 54,5 poin atau setara 0,34 persen dari Rp16.205,5 per USD pada penutupan perdagangan sebelumnya.
Sementara menukil data Yahoo Finance, rupiah pada waktu yang sama berada di level Rp16.233 per USD. Analis pasar uang Ibrahim Assuaibi memprediksi rupiah pada hari ini akan bergerak secara fluktuatif, meski demikian rupiah diprediksi akan melemah.
"Untuk perdagangan hari ini, mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp16.200 per USD hingga Rp16.250 per USD," ujar Ibrahim dalam analisis harian.
Kekhawatiran perang dagang meningkat
Ibrahim mengungkapkan, pergerakan rupiah hari ini dipengaruhi oleh sentimen kekhawatiran tentang kemungkinan dimulainya kembali perang dagang yang meningkat, menyusul pengumuman Presiden AS Donald Trump tentang surat perdagangan yang dikirim ke Korea Selatan dan Jepang, yang menetapkan bea atas barang dan produk.
Potensi
perang dagang berlanjut setelah Trump mengumumkan tarif 25 persen untuk semua produk Korea dan Jepang yang dikirim ke AS, mulai 1 Agustus. Dalam surat yang ditujukan kepada para pemimpin Jepang dan Korea Selatan, Trump mengumumkan tarif sebesar 25 persen akan dikenakan pada semua barang yang berasal dari negara mereka, berlaku mulai 1 Agustus.
Ia menuduh kedua negara mempertahankan praktik perdagangan yang tidak adil, termasuk pajak impor yang tinggi dan hambatan non-tarif, yang berkontribusi terhadap defisit perdagangan AS yang terus-menerus. Trump memperingatkan tarif pembalasan apa pun akan menyebabkan bea masuk yang lebih tinggi.
"Sentimen risiko memburuk saat pasar bersiap menghadapi batas waktu 9 Juli, ketika AS diperkirakan secara resmi memberitahu mitra dagang tentang tarif baru yang berpotensi setinggi 70 persen, yang menargetkan lebih dari 100 negara," papar Ibrahim.
Trump juga merilis serangkaian surat yang menguraikan tarif perdagangan yang lebih tinggi pada beberapa negara Asia dan Afrika. Ini termasuk tarif 25 persen pada Korea Selatan, Jepang, Malaysia, dan Kazakhstan, bea masuk 30 persen pada Afrika Selatan, bea masuk 32 persen pada Indonesia, pungutan 35 persen pada Bangladesh, dan pungutan 36 persen pada Thailand.
"Selain itu, data ekonomi AS yang kuat memicu taruhan Federal Reserve tidak akan memangkas suku bunga dalam beberapa bulan mendatang. Ancaman tarif Trump juga memacu beberapa permintaan untuk
greenback, di tengah kekhawatiran pungutan tersebut akan bersifat inflasi bagi ekonomi AS," sebut Ibrahim.
(Ilustrasi kurs rupiah terhadap dolar AS. Foto: MI/Susanto)
Keputusan Trump timbulkan ketidakpastian pasar
Lebih lanjut Ibrahim mengungkapkan, tarif Trump untuk Indonesia yang tetap dikenakan sebesar 32 persen dan berlaku mulai 1 Agustus 2025, maka akan memberi waktu sekitar tiga minggu tambahan bagi Indonesia untuk membuat kesepakatan dengan Gedung Putih.
"Keputusan Trump tersebut dipandang banyak pihak menimbulkan ketidakpastian pasar," jelas Ibrahim menuturkan.
Menurut dia, tarif ini bukan sekadar soal ekonomi, tetapi juga strategi geopolitik dan negosiasi. Dalam konteks teori permainan, tarif ini adalah upaya AS untuk mengubah 'payoff matrix' dalam hubungan dagang bilateral, memaksa Indonesia untuk mengevaluasi ulang strategi ekspor dan diplomasi dagangnya.
Oleh karena itu, pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi nasional akan terpangkas 0,3 persen hingga 0,5 persen akibat kebijakan ini. Selain itu, risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di sektor padat karya seperti tekstil dan alas kaki semakin besar.
"Walaupun terpangkas, posisi Indonesia masih kuat, meski proyeksi pertumbuhan ekonomi pada 2025 turun dari 5,2 persen menjadi 4,7 persen hingga 5,0 persen. Sebab proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi global yang hanya 2,3 persen," papar Ibrahim.