ilustrasi. (Medcom.id)
Jakarta: Pakar Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Eddy O.S. Hiariej, menyoroti beberapa aspek penting terkait reformasi hukum acara pidana di Indonesia. Menurutnya perlindungan hak asasi manusia menjadi hal penting dalam hukum acara pidana.
"Filosofi utama hukum acara pidana harus berorientasi pada perlindungan hak asasi manusia dan menghindari kesewenang-wenangan aparat penegak hukum (APH)," kata Eddy dalam webinar pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP), Kamis, 23 Januari 2025.
Eddy menjelaskan hukum acara pidana harus bersifat keresmian dengan pengaturan yang ketat. Ia juga menegaskan pentingnya tiga prinsip utama yang harus dijunjung tinggi dalam KUHAP.
Pertama tertulis sehingga aturan hukum tidak multitafsir, kedua jelas, agar tidak menimbulkan kebingungan dalam penerapan.
"Dan ketiga tidak dapat diinterpretasikan selain dari yang tertulis, demi menghindari kerugian bagi pelapor, terlapor, saksi, tersangka, terdakwa, hingga narapidana," jelasnya.
Ia juga menyoroti perlunya perubahan paradigma dari Crime Control Model yang mengedepankan asas praduga bersalah, untuk menuju Due Process Model yang lebih melindungi hak asasi manusia.
Di luar itu, Eddy mendukung adanya diferensiasi fungsional dalam sistem peradilan pidana. Dalam hal ini memposisikan polri sebagai penyidik utama.
Selain Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bertindak sebagai penyidik pendukung dan peran jaksa sebagai penuntut umum sekaligus eksekutor dalam penelusuran dan perampasan aset.
Ia juga menekankan pentingnya keberadaan advokat sejak tahap penyelidikan. Hal ini bertujuan untuk memastikan pengawasan yang lebih baik dalam proses hukum.
Penguatan peran advokat juga diperluas dalam konteks praperadilan guna melindungi kepentingan saksi, tersangka, terdakwa, hingga narapidana.
Pengawasan terhadap perolehan barang bukti menjadi poin kritis yang disorot oleh Prof Eddy. Menurutnya pengumpulan barang bukti harus dilakukan secara transparan dan dapat diawasi oleh pihak-pihak terkait.
Selain itu ia mengusulkan adanya dua jenis putusan tambahan di pengadilan, yakni putusan pemaafan hakim, untuk kasus yang layak mendapatkan pertimbangan khusus dan putusan tindakan, terkait dengan keadilan restoratif (restorative justice).
Namun dia menekankan keputusan terkait restorative justice harus melalui proses penetapan hakim dan terregistrasi, baik oleh polisi, jaksa, maupun hakim.
Sementara dalam pembahasan soal Mahkamah Agung (MA), Eddy menyampaikan kritik terhadap kemungkinan putusan MA yang lebih berat dibandingkan putusan pengadilan sebelumnya.
"Putusan MA tidak boleh lebih berat dari putusan sidang pembuktian sebelumnya, kecuali dalam kondisi tertentu," ungkapnya.
Ia juga menyoroti soal peninjauan kembali (PK), yang menurutnya harus diperketat. PK adalah upaya luar biasa, bukan sebagai peradilan tingkat empat'.
Selain juga mengingatkan pentingnya asas hukum pidana yang memberikan kepastian hukum. "Proses pidana harus ada akhirnya," ujarnya.