Cleaning service, salah satu jenis pekerjaan pada tenaga kerja outsourcing. Foto: dok HES Indonesia.
M Rodhi Aulia • 6 May 2025 13:27
Jakarta: Pemerintah kembali menyoroti praktik alih daya atau outsourcing yang dinilai sarat persoalan dan kerap menabrak prinsip keadilan dalam hubungan kerja. Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli menegaskan bahwa sistem ini menyisakan banyak ketidakpastian bagi para pekerja, mulai dari jenjang karier yang tidak jelas, hingga upah yang tak sesuai kontrak.
Dalam pernyataan terbarunya, Yassierli menyinggung nasib pekerja yang telah berusia 40 hingga 50 tahun namun masih terjebak dalam status outsourcing. Meski telah lama bekerja, mereka tetap digaji setara Upah Minimum Provinsi (UMP) tanpa peluang peningkatan karier.
"Kalau kita lihat, praktik outsourcing memang banyak masalah. Ada orang yang sudah usia 40-50 tahun masih saja di-outsourcing, tanpa ada karier, dengan gaji tetap setara UMP," kata Yassierli, Senin, 5 Mei 2025.
Yassierli juga menyoroti ketimpangan antara isi kontrak dan kenyataan di lapangan. Ia menyebut banyak kasus di mana gaji yang diterima pekerja bahkan tak sesuai dengan nominal yang tercantum dalam kontrak.
“Bahkan kontraknya UMP, tapi realitasnya (gaji) dibayarnya seperti apa—ini banyak kasus,” tegasnya.
Presiden Prabowo Subianto pun telah meminta Kemenaker meninjau kembali sistem ini. Saat ini, pemerintah tengah menyusun peraturan baru untuk memperkuat perlindungan pekerja, termasuk opsi penghapusan outsourcing secara bertahap. Namun Menaker menegaskan, proses ini masih dalam tahap pengumpulan masukan dari berbagai pihak, termasuk pengusaha dan serikat buruh.
Yassierli menyoroti nasib para pekerja berusia 40-50 tahun yang tetap bekerja di bawah sistem outsourcing. Meski telah mengabdi bertahun-tahun, mereka tidak kunjung diangkat menjadi karyawan tetap atau diberikan jenjang karier.
"Ada orang yang sudah usia 40-50 tahun masih saja di-outsourcing, tanpa ada karier, dengan gaji tetap setara UMP,” tegasnya. Kondisi ini menggambarkan stagnasi yang menindas, tanpa penghargaan terhadap pengalaman kerja.
Baca juga: Pengusaha dan Buruh Menanti Realisasi Janji Prabowo Hapus 'Outsourcing'
Kontrak kerja outsourcing kerap mencantumkan gaji sesuai Upah Minimum Provinsi (UMP). Namun, Yassierli menegaskan bahwa dalam praktiknya, banyak pekerja menerima upah di bawah ketentuan.
“Bahkan kontraknya UMP, tapi realitasnya (gaji) dibayarnya seperti apa—ini banyak kasus,” ungkapnya. Hal ini membuka ruang pelanggaran hak pekerja secara sistematis.
Meski regulasi sebelumnya membatasi outsourcing hanya untuk pekerjaan penunjang, praktik di lapangan sering kali melanggar ketentuan tersebut. Pekerjaan inti atau core business yang seharusnya dikelola langsung oleh perusahaan justru turut dialihdayakan. Ini memperlemah posisi tawar pekerja dan membuka celah eksploitasi yang lebih luas.
Dalam sistem outsourcing, status pekerjaan cenderung tidak menentu. Banyak pekerja menghadapi ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sewaktu-waktu tanpa kompensasi yang layak. Situasi ini membuat mereka hidup dalam ketakutan terus-menerus, tanpa jaminan stabilitas ekonomi bagi keluarga.
Pekerja outsourcing sering kali tidak terdaftar dalam program jaminan sosial secara menyeluruh. Mulai dari BPJS Ketenagakerjaan hingga BPJS Kesehatan, banyak perusahaan penyedia outsourcing yang abai terhadap kewajiban perlindungan ini. Alhasil, ketika pekerja sakit atau mengalami kecelakaan kerja, mereka harus menanggung beban sendiri.
Menaker menyoroti bahwa pekerja outsourcing sulit membentuk atau bergabung dalam serikat pekerja. Hal ini lantaran hubungan kerja mereka tidak langsung dengan perusahaan induk, melainkan melalui pihak ketiga. Keadaan ini mengebiri hak konstitusional pekerja untuk berserikat dan memperjuangkan haknya secara kolektif.
Seluruh praktik outsourcing yang eksploitatif, menurut Yassierli, tidak sejalan dengan semangat UUD 1945. Ia menekankan pentingnya memastikan bahwa kebijakan ketenagakerjaan selaras dengan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (2) yang menjamin hak atas pekerjaan dan perlakuan adil.
“Kita harus kembali pada konstitusi, bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak,” katanya.
Meski rencana penghapusan outsourcing telah mengemuka, pemerintah mengaku tetap membuka ruang dialog dengan pengusaha dan investor. Presiden Prabowo menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan antara perlindungan buruh dan keberlanjutan investasi.
“Kita harus juga realistis. Kita juga harus menjaga kepentingan para investor. Kalau mereka tidak investasi, tidak ada pabrik, kalian tidak bekerja,” ucapnya.