Ilustrasi bendera Olimpiade. (Dok. IOC)
Riza Aslam Khaeron • 23 October 2025 17:03
Jakarta: Komite Olimpiade Internasional (IOC) kembali menjadi sorotan global usai menjatuhkan sanksi resmi kepada Indonesia yang menolak memberi visa kepada delegasi Israel dalam ajang Kejuaraan Dunia Senam Artistik 2025 di Jakarta. Keputusan ini diumumkan pada Rabu, 22 Oktober 2025, setelah IOC menyatakan tidak berhasil menemukan resolusi atas kebuntuan yang terjadi.
Akibatnya, IOC memutuskan mengakhiri semua bentuk dialog dengan Komite Olimpiade Indonesia, dan menyarankan agar semua federasi internasional tidak menggelar ajang olahraga di Indonesia hingga ada jaminan akses setara bagi seluruh peserta, termasuk dari Israel.
Sikap tegas IOC terhadap Indonesia ini menimbulkan kontroversi luas, mengingat adanya preseden berbeda dalam kasus Rusia dan Belarusia. Lantas, bagaimana standar yang sebenarnya diterapkan IOC terhadap negara-negara anggota? Berikut ulasannya.
Rusia Dihukum Tapi Tutup Mata dengan Israel
Sejak 2022, IOC menjatuhkan sanksi berat kepada Rusia karena invasi ke Ukraina, yang dinilai melanggar gencatan senjata Olimpiade (Olympic Truce). Invasi Rusia terjadi pada 24 Februari 2022, masih dalam periode Olympic Truce Beijing 2022 (berlaku 7 hari sebelum pembukaan Olimpiade hingga 7 hari setelah penutupan Paralimpiade).
Akibatnya, IOC mengimbau negara anggota untuk melarang partisipasi atlet Rusia dan Belarus.
Pada 2023, IOC juga menskors Komite Olimpiade
Rusia (ROC) karena menerima organisasi
olahraga dari wilayah Ukraina yang diduduki—seperti Donetsk dan Luhansk—ke dalam strukturnya; langkah ini ditegaskan kembali sepanjang 2023–2024.
IOC menyatakan bahwa tindakan
Rusia melanggar integritas Gerakan Olimpiade dan tidak sejalan dengan Piagam Olimpiade. Belarus turut dikenai pembatasan serupa karena perannya dalam invasi.
Berlawanan dengan tindakan keras terhadap
Rusia, IOC tidak menjatuhkan sanksi serupa kepada Israel—padahal sejumlah pelanggaran serius dipersoalkan terhadap negara tersebut.
Pertama, serangan udara
Israel ke Gaza berlanjut selama Olimpiade Paris 2024, termasuk pengeboman sebuah sekolah di dekat Deir al-Balah yang menewaskan sedikitnya 30 orang dan melukai lebih dari 100 orang, di antaranya anak-anak.
IOC tidak menyatakan adanya pelanggaran Olympic Truce ataupun menjatuhkan sanksi. Sedangkan partisipasi Rusia dalam ajang tersebut dibatasi, diharuskan bergabung sebagai Atlet Individu Netral (AIN), tanpa bendera, lagu kebangsaan, maupun identitas negara.
Kedua, Israel juga dinilai melanggar yurisdiksi olahraga internasional karena beberapa klubnya berbasis atau bertanding di permukiman ilegal di Tepi Barat—wilayah yang tidak diakui secara internasional sebagai bagian dari Israel.
Praktik ini lama diprotes oleh badan
olahraga Palestina dan disorot dalam surat ahli kepada FIFA; secara prinsip sebanding dengan alasan IOC menskors ROC ketika mengintegrasikan organisasi olahraga dari wilayah Ukraina yang dianeksasi.
Namun, IOC tetap teguh menutup mata terhadap pelanggaran Israel.
Tuduhan Genosida dan Pembunuhan Atlet Palestina Diabaikan
Foto: Suleiman al-Obeid. (PFA)
Yang paling mencolok adalah sikap bungkam IOC terhadap dugaan genosida oleh
Israel. Pada September 2025, Komisi Penyelidikan PBB menyatakan bahwa agresi Israel yang telah membunuh lebih dari 60 ribu warga Gaza telah memenuhi unsur genosida terhadap rakyat Palestina di Gaza.
Laporan itu menyebut penggunaan kekuatan militer secara tidak proporsional, penghancuran sistematis infrastruktur sipil, termasuk stadion dan fasilitas olahraga.
Melansir artiketl
The Guardian pada 7 Agustus 2025, Palestine Football Association (PFA) mencatat lebih dari 662 atlet Palestina telah terbunuh hingga Agustus 2025. Sebagian besar di Gaza.
Salah satunya adalah Suleiman al-Obeid, legenda sepak bola Palestina yang dikenal sebagai “Palestinian Pelé”.
Ia tewas pada 6 Agustus 2025 ketika pasukan
Israel mengebom kerumunan warga yang sedang menunggu bantuan kemanusiaan di Gaza selatan. Sepanjang kariernya, al-Obeid mencetak lebih dari 100 gol dan menjadi ikon tim nasional sejak 2007.
PFA melaporkan bahwa 421 pesepak bola Palestina, termasuk 103 anak-anak, telah terbunuh sejak perang dimulai.
Sebanyak 288 fasilitas olahraga hancur total—mulai dari stadion, gym, pusat pelatihan, hingga markas besar PFA di Gaza yang diratakan oleh serangan udara Israel.
Sebaliknya, atlet
Israel terus berlaga di berbagai kejuaraan internasional tanpa hambatan apa pun. IOC juga tidak mempertanyakan keanggotaan Komite Olimpiade
Israel meskipun Israel dianggap melanggar prinsip-prinsip dasar kemanusiaan dan sportivitas.
IOC Netral?
IOC memiliki kewajiban menjaga netralitas politik Olimpiade sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Piagam Olimpiade. Di satu sisi, IOC menjatuhkan sanksi pada
Rusia karena menganeksasi organisasi olahraga di kawasan yang mereka ambil alih. Rusia dihukum karena dianggap melanggar Olympic Truce dan mencederai nilai-nilai kemanusiaan
Sementara itu, IOC tak mengambil sikap saat beragam laporan dan kecaman genosida di Gaza yang dilaporkan menewaskan ratusan atlet. Bahkan, IOC tidak pernaj mempertimbangkan tindakan
Israel di Gaza yang dikategorikan oleh PBB sebagai genosida.
Termasuk pembunuhan massal warga sipil dan atlet Palestina. IOC tidak pernah menjatuhkan sanksi, tidak ada kecaman, bahkan tidak ada pembatasan terhadap partisipasi atlet Israel di berbagai.
Israel yang dinyatakan melakukan kejahatan kemanusiaan, tetap dilindungi dengan dalih netralitas
olahraga. Indonesia bahkan dijatuhi sanksi karena menolak memberi akses masuk kepada atlet Israel agar bisa berpartisipasi dalam Kejuaraan Dunia Senam Artistik 2025 di Jakarta.
Indonesia tidak gentar
Sebagai respons terhadap ketidakadilan IOC, pemerintah Indonesia tetap teguh terhadap pendiriannya. Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Erick Thohir menegaskan bahwa keputusan Indonesia merupakan perwujudan tugas bangsa untuk menjaga ketertiban dunia dan nilai konstitusi.
"Langkah ini sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Prinsip ini juga berdasarkan UUD 1945 yang menghormati keamanan dan ketertiban umum dan juga kewajiban Pemerintah Negara Indonesia untuk melaksanakan ketertiban dunia,” ujar Erick dalam pernyataan resmi pada 23 Oktober 2025.
Dengan kata lain, sikap Indonesia bukan bentuk diskriminasi, melainkan konsistensi terhadap nilai dan amanat konstitusi. Tetapi IOC justru mengabaikan konteks ini dan memilih menjatuhkan sanksi sepihak.