Protes alumni Harvard terhadap ancaman Trump. (Erin Clark/Globe Staff)
Riza Aslam Khaeron • 15 April 2025 16:59
Washington DC: Donald Trump resmi membekukan dana federal senilai lebih dari USD2 miliar (sekitar Rp32 triliun) untuk Universitas Harvard pada Senin, 14 April 2025, hanya beberapa jam setelah pihak kampus menolak daftar tuntutan yang dikirimkan Gedung Putih.
Melansir BBC, dana yang dibekukan terdiri dari USD2,2 miliar dalam bentuk hibah dan USD60 juta dalam kontrak penelitian.
Pemerintah Trump sebelumnya mengirimkan sepuluh butir tuntutan kepada Harvard, yang diklaim bertujuan untuk melawan antisemitisme di lingkungan kampus. Tuntutan tersebut mencakup reformasi besar-besaran pada struktur tata kelola, kebijakan perekrutan staf, dan prosedur penerimaan mahasiswa.
Melansir surat Gedung Putih yang diterima The New York Times, tuntutan-tuntutan tersebut yakni:
- Reformasi tata kelola untuk mengurangi pengaruh mahasiswa, dosen non-tenur, dan aktivis kampus.
- Reformasi penerimaan dan perekrutan berdasarkan "merit" tanpa preferensi ras, agama, jenis kelamin, atau asal negara.
- Audit terhadap keragaman sudut pandang di setiap departemen akademik.
- Audit terhadap program-program yang dianggap memicu antisemitisme, termasuk Divinity School, Harvard Law International Human Rights Clinic, dan Middle Eastern Studies.
- Penutupan seluruh program Diversity, Equity, and Inclusion (DEI).
- Pembekuan dan pencabutan dukungan bagi organisasi mahasiswa pro-Palestina seperti Harvard Palestine Solidarity Committee.
- Penerapan larangan penggunaan masker wajah dengan sanksi minimal skorsing.
- Pemecatan dan skorsing terhadap mahasiswa yang terlibat dalam aksi-aksi protes, termasuk pendudukan gedung dan serangan terhadap mahasiswa Israel.
- Pemeriksaan plagiarisme untuk seluruh staf pengajar.
Pelaporan mahasiswa internasional yang melanggar aturan kepada Departemen Keamanan Dalam Negeri AS. Selain itu, pemerintahan Trump juga menuntut adanya audit terhadap program dan departemen yang dianggap "paling memicu pelecehan antisemit," serta pemeriksaan plagiarisme terhadap staf pengajar.
Permintaan tambahan lainnya termasuk larangan penggunaan masker wajah (yang secara luas dipandang menyasar demonstran pro-Palestina), penghentian program keberagaman dan inklusi (DEI), serta pelarangan klub mahasiswa yang mendukung kekerasan ilegal atau aktivitas kriminal.
Presiden Harvard, Alan Garber, yang juga seorang Yahudi, dalam pernyataan resminya menolak seluruh tuntutan tersebut.
"Meskipun beberapa dari tuntutan itu bertujuan untuk memerangi antisemitisme, sebagian besar merupakan bentuk regulasi langsung dari pemerintah terhadap 'kondisi intelektual' di Harvard," ujar Garber di Cambridge, Massachusetts, pada Senin, 14 April 2025.
Ia menegaskan bahwa kampus tidak akan menyerahkan independensinya atau hak-hak konstitusionalnya di bawah Amandemen Pertama.
"Tidak ada pemerintahan, siapa pun yang berkuasa, seharusnya menentukan apa yang boleh diajarkan, siapa yang boleh diterima dan dipekerjakan, dan bidang kajian apa yang bisa dijalankan oleh universitas swasta," tambahnya.
Kementerian Pendidikan AS kemudian menanggapi dengan membekukan seluruh aliran dana ke Harvard.
"Pernyataan Harvard hari ini memperkuat mentalitas berhak yang meresap di universitas-universitas paling prestisius di negara kita," ujar pernyataan resmi dari Departemen Pendidikan, mengutip pada Senin, 14 April 2025. Mereka menilai gangguan terhadap proses pembelajaran di kampus tidak bisa diterima, dan pelecehan terhadap mahasiswa Yahudi sangat tidak dapat ditoleransi.
Profesor sejarah Harvard, David Armitage, menyatakan kepada BBC bahwa universitasnya mampu bertahan tanpa dana federal.
"Ini adalah tindakan pendendam dan tak berdasar dari pemerintahan Trump yang ingin membungkam kebebasan berbicara," ujarnya di Cambridge, pada Senin, 14 April 2025.
Harvard menjadi universitas besar pertama yang menolak tuntutan ini secara terang-terangan, setelah sebelumnya Universitas Columbia menerima sebagian tuntutan pemerintah pasca dicabutnya dana federal sebesar USD400 juta pada Maret lalu. Columbia mendapat kritik dari mahasiswa dan staf akibat langkah tersebut.
Langkah Trump ini juga dinilai sebagai bagian dari strategi yang lebih luas untuk mereformasi universitas-universitas elit. Dalam beberapa bulan terakhir, pemerintah telah meninjau ulang kontrak dan hibah multi-tahun senilai USD8,7 miliar yang diberikan kepada kampus-kampus top.
Tuntutan ini juga telah memicu reaksi keras dari komunitas akademik dan masyarakat sekitar. Selama akhir pekan, ratusan demonstran berkumpul di Cambridge menyerukan penolakan terhadap intervensi politik terhadap kampus.
American Association of University Professors telah melayangkan gugatan hukum yang menuding pemerintah Trump melanggar prosedur hukum dalam pembekuan dana, tanpa pemberitahuan kepada universitas maupun Kongres.
"Harvard berdiri hari ini demi integritas, nilai, dan kebebasan yang menjadi fondasi pendidikan tinggi," ujar Anurima Bhargava, alumni Harvard, pada Senin, 14 April 2025.
Namun tidak semua pihak mendukung posisi Harvard. Harvard Jewish Alumni Association mengecam surat Garber.
"Harvard menyatakan akan menolak perubahan dalam tata kelola, tapi di mana pernyataan tentang apa yang AKAN dilakukan untuk melawan antisemitisme?" tulis asosiasi tersebut di platform X.
Sementara itu, sebagian demonstran Yahudi dan pro-Palestina menilai tuntutan Trump menyamakan kritik terhadap Israel dengan antisemitisme. Konflik ini mencuat seiring protes besar-besaran terhadap serangan Israel di Gaza yang menewaskan lebih dari 50.000 warga Palestina, menurut Kementerian Kesehatan Gaza.
Harvard, dengan dana abadi (endowment) sebesar USD53 miliar, merupakan universitas terkaya di AS. Namun, kebijakan pembekuan dana ini tetap memicu kekhawatiran soal intervensi politik terhadap kebebasan akademik di negara yang mengklaim menjunjung tinggi prinsip demokrasi.