Walhi Minta Pemerintah Cabut IUP Nikel di Raja Ampat

PT Gag Nikel melakukan penambangan nikel di Raja Ampat. Foto: Dok Kementerian ESDM

Walhi Minta Pemerintah Cabut IUP Nikel di Raja Ampat

Despian Nurhidayat • 9 June 2025 13:01

Jakarta: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) tambang di Raja Ampat merupakan gambaran dari sebagian besar pulau kecil dan pesisir Tanah Air yang selama ini dieksploitasi pemerintah dan korporasi melalui izin pertambangan dan perkebunan atau bisnis industri ekstraktif.

"Dalam konteks Raja Ampat, pertambangan nikel itu kemudian akan mengancam keselamatan pulau Raja Ampat yang 90 persen itu adalah wilayah konservasi gitu," ungkap Manajer Kampanye Pelaksana Hutan dan Pertanian Uli Artha Siagian saat dihubungi, Senin, 9 Juni 2025.

Catatan Walhi, terdapat empat izin usaha pertambangan nikel di Tanah Papua. Sebanyak tiga izin usaha pertambangan di antaranya terdapat di pulau-pulau kecil di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya. 

Ia mengatakan ada sekitar 1.600 spesies ikan di pulau tersebut. Kemudian, 75 persen spesies karang yang terkenal di dunia, dan 6 dari 7 jenis penyu yang terancam punah. 

"Ini menunjukkan betapa Raja Ampat itu memiliki kekayaan biodiversitas yang sangat tinggi sekali," ujarnya.
 

Baca juga: Pengamat Sebut Pelanggaran Pidana Kental dalam Aktivitas Tambang di Raja Ampat

Ia mengatakan Raja Ampat menjadi wilayah yang rentan ketika pemerintah salah mengurusnya. Menurut dia, pemberian izin eksploitasi pertambangan nikel itu merupakan bentuk kesalahan negara dalam mengurus Raja Ampat. 

"Jika boleh dikatakan negara tidak mampu mengurusi bentang Raja Ampat secara baik dan benar," tegas Uli Artha. 

Dia meyakini seluruh hal yang dimiliki Raja Ampat akan hilang seiring dengan tingginya eksploitasi nikel. Bukan hanya kerusakan lingkungan yang akan terjadi, tetapi dampak yang lebih besar lagi akan dirasakan oleh seluruh masyarakat di Indonesia bahkan global.

"Karena akibat eksploitasi nikel di Kepulauan Raja Ampat, sekaligus juga terjadi pembongkaran hutan, lalu kemudian dampaknya itu merusak karang, maka itu akan berdampak pada pelepasan emisi dalam skala yang besar," ujarnya.

Catatan Walhi pada 2023, terdapat 300-400 hektare kerusakan wilayah di Raja Ampat. Artinya, sudah sangat besar emisi yang dilepaskan dari pembongkaran hutan dan pengerukan tanah untuk diambil nikelnya. "Lalu kemudian juga kerusakan terumbu karang yang kemudian terdampak dari aktivitas pertambangan nikel tersebut," bebernya.
 
Baca juga: Desakan Publik Meningkat, KLHK Tinjau Ulang Izin Tambang di Raja Ampat

Menurut dia, tambang di Raja Ampat merupakan proses pelepasan emisi dalam skala yang besar. Hal ini berpotensi menambah krisis iklim. 

Walhi mengaku sudah turun ke Raja Ampat sekitar satu hingga dua tahun lalu. Walhi menyebut telah menolak pertambangan nikel secara tegas. 

"Karena apa? Karena bagi masyarakat asli Papua, relasi mereka dengan tanah, relasi mereka dengan laut, relasi mereka dengan hutan, itu bukan hanya sekadar relasi ekonomi, tetapi ada relasi spiritualitas di sana, ada relasi budaya di sana," bebernya.

Bagi Walhi, apa yang terjadi di Raja Ampat adalah gambaran dari kegagalan negara mengurus dan melindungi pesisir serta pulau-pulau kecil Indonesia. Walhi menantang pemerintah berani mencabut izin usaha pertambangan (IUP) nikel di Raja Ampat.

"Kami menantang sebenarnya pemerintah atau negara untuk tidak tunduk pada kepentingan korporasi, tetapi kemudian tunduk kepada mandat konstitusi yaitu menjaga keselamatan rakyat Indonesia, menjaga keselamatan wilayah kita, dan memastikan hak-hak dasar masyarakat, termasuk hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat itu dipenuhi,” ujar Uli Artha.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Arga Sumantri)