Ahli Sosiologi, Trubus Rahardiansyah, dalam sidang MKD DPR. Foto: Istimewa.
Anggi Tondi Martaon • 3 November 2025 18:56
Jakarta: Ahli Sosiologi, Trubus Rahardiansyah, memberikan pandanganya terkait pernyataan anggota nonaktif DPR Ahmad Sahroni dalam Sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI. Dia menilai ucapan tersebut bukanlah bentuk penghinaan ataupun ujaran kebencian.
Trubus berpandangan pernyataan Sahroni terkait pembubaran DPR tidak menyinggung apa pun. "Walaupun di situ ada kata tolol yang diviralkan, itu menurut saya lebih ke menyampaikan bahwa tidak mungkin DPR dibubarkan. Jadi apa yang disampaikan Pak Ahmad Sahroni bukan suatu ucapan kriminal ataupun kebencian,” kata Trubus dikutip dari Youtube DPR, Senin, 3 November 2025.
Trubus mengungkapkan bawah pernyataan Sahroni hanya sebagai bentuk penjelasan bahwa DPR tidak bisa dibubarkan. Sebab, Indonesia tidak menganut sistem parlementer.
"Sehingga menurut saya ini sebagai penjelasan yang clear, DPR itu tidak bisa dibubarkan bahwa DPR itu berbeda dengan negara yang menganut sistem parlementer," ujar Trubus.
Selain itu, Trubus menyoroti banyaknya pihak yang sengaja menggiring opini publik. Tujuannya agar pemahaman masyarakat keluar dari konteks pernyataan tersebut.
“Ini kan sebenarnya arahnya ke sana. Tapi kemudian dipahami (berbeda) karena itu tadi, manipulasi. Makanya di Pasal 35 UU ITE itu kan dilarang orang memanipulasi dan mengubah-ubah itu," sebut Trubus.
Trubus menjelaskan pontensi manipulasi sangat rentan terjadi pada penggunaan teknologi (
society 5.0). Dia menegaskan, hal itu sangat dilarang karena menyalahi aturan perundang-undang-undangan.
"Karena itu tadi, manipulasi. Pada
society 5.0 itu ada risikonya manipulasi, jadi dimanipulasi. Makanya pasal 25 UU ITE itu orang dilarang memanipulasi atau diubah-ubah," ungkap Trubus.
Sidang MKD DPR. Foto: Tangkapan layar Youtube DPR.
Hal senada disampaikan pakar analisis perilaku, Gusti Aju Dewi, terkait manipulasi. Menurut dia, saat ini potongan-potongan informasi digunakan untuk membentuk persepsi publik yang keliru.
“Zaman sekarang perang bukan lagi dengan senjata api, tapi senjatanya informasi yang diselewengkan, bisa dipotong. Jadi 90% kebenaran itu bukan kebenaran, karena ada 10% yang tidak dimasukkan sehingga informasi tersebut menjadi disinformasi,” ungkap Gusti.
Gusti juga menegaskan bahwa para penyebar DFK (Disinformasi, Fitnah, dan Kebencian) dapat dilacak dengan teknologi digital forensik, termasuk untuk mengetahui siapa yang pertama kali menggulirkan narasi manipulatif di media sosial.
“Siapa yang menggulirkan sampai sekarang belum terungkap. Sebenarnya dengan teknologi AI itu mudah dilakukan digital forensik, Yang Mulia, untuk ditelusuri siapa yang pertamakali mengeluarkan narasi-narasi DFK,” ujar Gusti.