Despian Nurhidayat • 5 September 2024 20:44
Jakarta: Anggota Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Eva Kusuma Sundari, menyoroti maraknya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Indonesia. Menurut dia, ada regulasi yang tak tepat dan karena tidak terlalu peduli terhadap perempuan.
“Karena partisipasi perempuan di dunia kerja itu melorot loh kita dari 57 persen menjadi 54 persen. Artinya apa? Kebijakan yang diseting negara tidak menyebabkan perempuan mau berpartisipasi di sana. Kalau di rumah dia hanya jadi objek KDRT,” ungkapnya kepada Media Indonesia, Kamis, 5 September 2024.
Menurutnya kehadiran Undang-Undang KDRT saat ini belum optimal disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah peran dari kepolisian yang bukannya melindungi korban, tapi mencoba melakukan mediasi.
“Jadi contoh ada istri yang jelas dihajar oleh suaminya, eh disuruh rukun terus dikembaliin ke rumah. Akhirnya mati kan termasuk anaknya. Jadi menurut aku kepolisian ketika ada UU itu protapnya diperbaiki bahwa tugasnya itu melindungi bukan kemudian melakukan mediasi sehingga meregang nyawa,” tegas Eva Sundari.
Dia juga menilai bahwa lingkungan juga masih enggan untuk melakukan intervensi karena menurut mereka itu urusan rumah tangga. Padahal Eva Sundari menekankan bahwa KDRT bukan delik aduan tapi delik umum sehingga harusnya masyarakat makin tanggap.
“Dari BPS juga menyatakan bahwa dari para korban, sedikit atau hanya 10 persen yang melapor. Jadi artinya ini perlu kampanye besar-besaran bahwa para penderita harus dilakukan
encourage untuk melaporkan, masyarakat mendukung, kepolisian dirombak kulturnya tidak kemudian tidak fokus pada perlindungan kepada korban malah mediasi. Jadi kalau BPS menyatakan emergency KDRT ya di situ karena sudah ada regulasinya tapi penegakannya lemah,” tuturnya.
Sayangnya, Eva Sundari menjelaskan bahwa kultur di masyarakat Indonesia juga sangat diskriminatif. Dari World Population Survey menyatakan bahwa 25% penduduk Indonesia terutama laki-laki masih menganggap tidak setuju terkait kesetaraan perempuan.
“Jadi menurutku itu area yang perlu dibenahi ya. Kultur masyarakat atau pariarki sekali yang menganggap bahwa perempuan martabatnya masih di bawah laki-laki sehingga mereka bisa melakukan apa saja dan seenaknya,” tegas Eva Sundari.
Selain itu, Eva Sundari menambahkan bahwa ketika kemiskinan bertambah, kasus KDRT juga akan ikut naik. Untuk itu kebijakan makro juga harus diberesi atau harus ada strategi pembangunan yang tidak memiskinkan masyarakat.
“Kalau pemerintah membiarkan masyarakatnya terseok-seok, itu perempuan yang jadi korban. Istilahnya feminisasi kemiskinan. Jadi perempuan makin rentan. Contohnya pandemi kemarin. Selama pandemi perempuan memiliki beban yang melonjak dan KDRT naik 33%. Ini data dari Komnas Perempuan. Dari situ kan kelihatan mindset masyarakat masih partiarki. Contoh nyata yaitu UU PPRT enggak diberesin. Lalu kesetaraan upah juga. Kemudian kebijakan ekonomi yang ekstraktif,” pungkasnya.