Pakar: Politik di Indonesia Tidak Memunculkan Keteladanan

Ilustrasi politik di Indonesia tidak memunculkan keteladanan. Medcom.d

Pakar: Politik di Indonesia Tidak Memunculkan Keteladanan

Sri Utami • 9 December 2023 20:39

Jakarta: Pakar politik CSIS Nicky Fahrizal menilai cara berpolitik di Indonesia menyebabkan demokrasi kacau. Salah satu indikatornya, yakni budaya politik yang tidak memunculkan teladan.

"Karena politik kita tidak memunculkan keteladanan. Minim keutamaan politik lalu akhir-akhir ini lebih banyak gimik padahal politik itu kunci menggerakan negara dan berkonstitusi. Dan ketika seorang politisi mengabaikan kaderisasi politik maka itu akan berbahaya," ujar Nicky, Jakarta, dilansir pada Sabtu, 9 Desember 2023.

Dalam beberapa tahun terakhir, khususnya di tahun politik, ini kekuasaan hanya menjadi tujuan. Sehingga minim etika politik serta demokrasi yang mengalami stagnasi, bahkan terjebak pada prosedural.

"Kita minim kualifikasi negarawan. Di negara demokrasi yang sudah matang pelanggaran etika itu luar biasa. Maka anak muda harus mengambil peran dalam kehidupan bernegara sesuai etik. Lalu cara kita berkonstitusi seperti apa," tegas dia.

Keterlibatan anak muda dalam berpolitik juga disuarakan Direktur Eksekutif Kata Rakyat Alwan Ola Riantoby. Selama 13 kali pemilu digelar seharusnya terus mengalami perbaikan. Tapi justru mengalami kegaduhan dan kemunduran demokrasi.

"Refleksinya seharusnya pemilu kita ini tidak minimbulkan kegaduhan karena pada 2014 itu pernah terjadi. Tapi pada 2024 memunculkan banyak gaduh dan perdebatan," ucap dia.
 

Baca Juga: Demokrasi Dinilai Makin Mengabaikan Semangat Reformasi

Menurut dia, jika bicara menyoal pemilu ke depan dan segmentasi anak muda, ada tiga hal yang tidak bisa dipisahkan. Salah satunya, pemahanan pemilu dan demokrasi yang semakin substansi bukan sekadar normatif atau prosedural.

"Kalau pemilu dipandang sebagai arisan, lalu kenapa kita melakukan pemilu. Tadinya prosedural harusnya kita semakin menuju ke demokrasi yang subsantansial," tutur dia.

Kemunduran demokrasi sejak 2014 semakin terasa pada proses Pemilu 2024. Sebagai contoh pemilu yang dibunyikan riang gembira dan minim gagasan diperparah dengan gimik, seperti joget yang tidak memberikan edukasi kepada publik.

"Apakah ini digemari oleh anak muda? Tentu tidak. Justru anak muda harus punya gagasan dan keahlian. Sehingga merotikrasi itu sesuatu yang langka. Kalau anak muda tidak paham dengan kartel politik, dinasti maka itu sangat bahaya," ujar dia.

Publik juga disuguhkan konflik kepentingan yang dikapitalisasi, sehingga publik harus mengoreksi kemewahan anak muda seperti apa yang harus dipilih.

"Dalam konteks anak muda dan keterpilihan kita dan gagasan tensi politik kita menegasikan prestasi tapi mendahulukan usia anak muda. Seakan anak muda berhenti soal usianya," ujar dia.

Dia menekankan ancaman paling besar dalam pemilu dan demokrasi serta anak muda adalah meritokrasi. Selain itu, putusan MK tentang syarat calon presiden dan calon wakil presiden dan desain debat capres diwarnai banyak tekanan.

"Padahal soal debat jelas ada di UU. Sekarang banyak tekanan politik. Perlu membangun narasi melawan dan mengkritik dalam proses perusakan demokrasi," ujar dia.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Achmad Zulfikar Fazli)