Dewan Redaksi Media Group Ade Alawi. MI/Ebet
Media Indonesia • 30 September 2025 06:16
KEJAHATAN akan memenangi pertarungan bukan karena kejahatan itu kuat atau tangguh, melainkan karena orang-orang baik diam, asyik berpangku tangan, bahkan terjebak dalam zona nyaman.
Demikian pula kekuasaan bisa berkelindan dengan kejahatan, terlebih kekuasaan yang membesar dan terpusat, bisa tergelincir dalam praktik abuse of power.
Itulah kerisauan Edmund Burke (1729-1797), negarawan, penulis, filsuf, dan anggota parlemen Irlandia-Inggris yang hidup pada abad ke-18.
Burke dikenal sebagai bapak konservatisme modern. Meski Burke menolak revolusi radikal, seperti Revolusi Prancis, tetapi dia mendukung kebebasan konstitusional. Bukan kebebasan yang kebablasan, melainkan kebebasan yang sesuai dengan koridor hukum.
Dalam sebuah perdebatan yang riuh di parlemen Inggris, Burke menyoroti pentingnya eksistensi pers yang kala itu berada di balkon. Dia menyebut pers sebagai pilar keempat demokrasi (the fourth estate) setelah legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Pers dinilai sebagai penyeimbang, bahkan menjadi perekat nilai-nilai demokrasi yang dikembangkan ketiga pilar demokrasi tersebut.
Walakin, perjalanan kehidupan pers hingga abad ke-21 tidak mudah seiring dengan menguatnya hak kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi. Hak dasar yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Pada 1947, Komisi Hak Asasi Manusia PBB menyatakan kebebasan pers ialah salah satu hak asasi manusia yang sangat penting.
Dalam tragedi kemanusiaan di Gaza, Palestina, pembunuhan terhadap jurnalis menjadi bagian dari genosida terhadap rakyat Palestina oleh Israel. Gaza potret tragedi terbesar kehidupan jurnalis.
Negeri Zionis itu menganggap sampah hukum humaniter internasional, khususnya Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan I yang melindungi pers dalam zona perang.
Di Tanah Air, kehidupan pers mengalami pasang surut. Hubungan antara penguasa dan pers acap kali laksana hubungan Tom & Jerry.
Itu nama dari serial kartun klasik dan karakter utamanya, yaitu seekor kucing bernama Tom dan seekor tikus bernama Jerry. Keduanya menjalani hubungan yang kompleks antara persahabatan dan pertengkaran.
Kehidupan pers sejak era Orde Lama, Orde Baru, dan pascareformasi bak jalan terjal berliku. Krisis kebebasan pers di era Presiden Sukarno mencuat ketika masa demokrasi terpimpin 1959.
Krisis kebebasan di era Orde Baru bukan makin surut, sebaliknya menggila. Rezim Orde Baru mewajibkan pers memiliki surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP).
Sejumlah pemenjaraan semena-mena terhadap tokoh
pers dilakukan rezim Soeharto, di antaranya Mochtar Lubis karena membongkar kasus korupsi Pertamina. Selanjutnya pemberedelan di antaranya terhadap harian Prioritas, majalah Tempo, Detik, dan Editor.
Kemerdekaan pers era pascareformasi juga terus diganggu aktor-aktor negara, aktor sipil, dan perundang-undangan. Pembungkaman kemerdekaan pers bisa berlangsung secara kasar, brutal, kejam, dan halus baik di tingkat pusat maupun daerah.
Pembungkaman secara halus, misalnya, sang pejabat yang berada di ring 1 kekuasaan memerintahkan kementerian/lembaga pemerintah tidak beriklan di media-media yang tidak 'bersahabat' dengan rezim.
Pola yang sama berlaku di media-media daerah sehingga tak sedikit di antara mereka menghadapi sakaratul maut.
Kini, isu kemerdekaan pers di era pemerintahan Prabowo mencuat di tengah mencuatnya kesengkarutan program mercusuar, makan bergizi gratis (MBG). Namun, bola panas tidak sempat menjadi liar.
Pencabutan kartu identitas (ID card) peliputan khusus istana milik jurnalis CNN Indonesia TV, Diana Valencia, dianggap selesai karena pihak istana sudah mengembalikan ID card-nya.
Pihak istana yang diwakili Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden (Setpres) Yusuf Permana mengaku menyesal, meminta maaf, dan berjanji tidak akan terulang kembali penarikan ID card pers istana milik jurnalis.Koran digital
Yusuf juga menegaskan pihaknya mendukung asas keterbukaan dan kebebasan pers sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Penarikan ID card pers istana diduga terkait dengan pertanyaan tentang program MBG yang diajukan Diana kepada Presiden Prabowo Subianto di Pangkalan Udara TNI Halim Perdanakusuma, Sabtu, 27 September 2025.
Pertanyaan itu dilontarkan dalam doorstop setelah Prabowo menjelaskan hasil pertemuannya dengan sejumlah pemimpin negara dalam sidang umum PBB pada Sabtu, 27 September 2025.
Namun, pertanyaan Diana dianggap di luar konteks sehingga membuat berang pejabat Biro Pers, Media, dan Informasi (BPMI) Setpres.Koran digital.
Pencabutan ID card pers istana mengundang reaksi keras Dewan Pers dan komunitas pers lainnya. Dewan Pers yang dipimpin Komaruddin Hidayat menyeru kepada semua pihak untuk menghormati tugas dan fungsi pers yang mengemban amanah publik sebagaimana diatur dalam UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Jika Presiden Prabowo benar-benar mendukung kemerdekaan pers, mantan Danjen Kopassus itu harus menjatuhkan sanksi kepada pejabat istana yang memerintahkan pencabutan ID card pers istana tersebut.
Pasalnya, hal itu merupakan tindakan sewenang-wenang dan menghalangi kerja jurnalis yang dilindungi UU.
Di era echo chamber, efek ruang gema, dalam gelombang maut media sosial yang diserbu buzzer dan pendukung garis keras kekuasaan, pers menjadi penjernih dan sumber validitas informasi.
Kebijakan sporadis, high cost, dengan tata kelola yang buruk menjadi ancaman bagi keberlangsung negeri ini. Tugas pers menjaga negeri ini dari keterpurukan dan kehancuran dengan kerja-kerja jurnalistik yang profesional, mematuhi kode etik dan UU.
Pers, kata Thomas Jefferson, ialah instrumen paling baik dalam pencerahan dan meningkatkan kualitas manusia sebagai makhluk rasional, moral, dan sosial. Tabik!