Perjelas Penindakan Korupsi, Guru Besar UI Wanti-wanti Hal Ini

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Topo Santoso/Istimewa

Perjelas Penindakan Korupsi, Guru Besar UI Wanti-wanti Hal Ini

Candra Yuri Nuralam • 15 October 2024 16:30

Jakarta: Penindakan perkara korupsi mesti terang benderang, dan didasari bukti yang jelas. Jangan sampai, perkara perdata ditarik ke ranah korupsi dan merugikan pihak tertentu.

"Fakta-fakta bisnis seperti transfer antarperusahaan atau utang-piutang merupakan ranah keperdataan yang harus dipisahkan dari tindak pidana," kata Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Topo Santoso, dalam keterangan yang dikutip Selasa, 18 Oktober 2024.

Hal tersebut diungkap Topo dalam diskusi terkait bedah buku mengenai hukum. Topo menyatakan hal itu merespons perkara Mardani Maming.

Menurut Topo, perkara tersebut mestinya ditelaah lebih dalam sebelum diputus. Karena, kata dia, fakta terkait keperdataan seperti fee, dividen, dan utang piutang seharusnya menjadi ranah perdata.

"Ini ditarik seolah-olah sebagai keterpenuhan unsur ‘menerima hadiah," kata dia.
 

Baca juga: 


Persoalan lain, yakni penggunaan unsur 'Sepatutnya Diduga' dalam perkara itu. Topo menganggap hal itu tidak tepat, karena seharusnya unsur itu digunakan untuk menunjukkan culpa (kealpaan) terdakwa.

Sehingga, kata Topo, unsur ini tidak tepat diterapkan dalam konteks tindak pidana korupsi. Karena, lebih fokus dan menyoroti soal opzet (kesengajaan).

Ia juga melihat tindakan Maming yang melahirkan Keputusan Bupati, sesuai dengan Hukum Administrasi Negara. Sehingga, tidak seharusnya dipersoalkan dalam ranah Hukum Pidana.

Selain itu, Topo menyinggung soal Keputusan Pengadilan Niaga yang sudah inkrah. Putusan itu terkait perkara, yang menyatakan ada urusan murni bisnis antarperusahaan.

Dengan demikian, kata Topi, jika ada kontrak dan putusan pengadilan, maka tidak bisa dikatakan sebagai ‘kesepakatan diam-diam.’

Selanjutnya, terkait kesalahan dalam penerapan pasal 12 Huruf b UU PTPK di mana Majelis Hakim pada tingkat pertama. Keputusannya itu diperkuat oleh pengadilan banding dan kasasi, keliru dalam menyatakan terpenuhinya semua unsur pada Pasal 12 huruf b UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK).

“Tidak terlihat adanya mens rea (niat jahat) dalam tindakan terdakwa. Prosedur hukum telah dijalankan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan tidak ada hubungan kausal antara keputusan terdakwa dengan penerimaan dividen, fee, atau saham yang dianggap sebagai hadiah,” tegas Prof Topo.

Berdasarkan hasil kajian hukum ini, Topo menyatakan Mardani dinyatakan bebas. Ia juga berpendapat bahwa Mahkamah Agung semestinya memulihkan harkat dan martabat terdakwa sesuai dengan keadaan sebelumnya.

"Dengan mempertimbangkan dokumen yang telah saya pelajari, baik putusan pengadilan tingkat pertama, banding, dan kasasi, saya menyimpulkan bahwa terdapat kekhilafan yang nyata dalam penanganan kasus ini," ungkap Topo.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Eko Nordiansyah)