Ilustrasi. Foto: Dok Medcom.id
Candra Yuri Nuralam • 19 November 2024 14:57
Jakarta: Guru Besar Hukum Pertambangan Universitas Hasanuddin Abrar Saleng menjadi saksi ahli dalam persidangan kasus dugaan korupsi pengolahan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk pada Senin, 18 November 2024. Dia menyebut pelanggaran dalam perkara itu harusnya masuk dalam ranah administrasi.
“Jika sebuah perusahaan pertambangan memiliki izin usaha penambangan (IUP) maka maka setiap pelanggaran yang dilakukan masuk dalam sanksi administrasi dan bukan pidana,” kata Abrar di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dikutip Selasa, 19 November 2024.
Abrar menjelaskan, pelanggaran pidana harusnya ditegakkan kepada perusahaan yang mengelola tambang ilegal, bukan berizin. Penegakkan hukum pun ranahnya polisi dan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dari Kementerian ESDM.
“Semua kegiatan pertambangan yang berbasis izin tidak masuk ilegal, yang dipidana menambang di luar izin,” ujar Abrar.
“Sudah jelas yang diatur secara khusus, bahwa yang berhak melakukan penyidikan terhadap tindak pidana pertambangan adalah PPNS Kementerian ESDM,” lanjutnya.
Abrar menjejalkan, pengusutan pidana pertambangan merupakan perkara yang dipisah karena penyidiknya harus mendapatkan pelatihan khusus. Mereka pun tidak bisa sembarangan menyidik karena wajib memiliki surat keputusan (SK) tersendiri.
“Selain PPNS dan Kepolisian, Lembaga lain tidak bisa melakukan penyidikan, karena ada seorang penyidik pertambangan harus menjalani pendidikan khusus dan SK khusus,” ucap Abrar.
Selain itu, Abrar juga menjelaskan bahwa penegak hukum harusnya menindak pemilik IUP jika adanya pelanggaran. Sebab, kata dia, penanggung jawabnya ada di perusahaan.
“Karena berdasarkan undang-undang pertambangan, perusahaan yang memegang IUP sah seandainya ingin bekerja sama dengan pihak ketiga, namun jika ada masalah tanggung jawabnya tetap ada di pihak pemegang IUP,” terang Abrar.
Dosen Hukum Pidana Universitas Sumatra Utara Mahmud Mulyadi turut dihadirkan dalam persidangan, kemarin. Dia diminta menjelaskan soal kerugian negara dalam kasus korupsi dalam tindakan ilegal.
Menurutnya, tidak semua tindakan ilegal bisa dikategorikan sebagai kerugian negara. Dia mencontohkan nelayan yang mengambil ikan sembarangan, namun, tidak pernah ditangkap untuk dibilang membuat negara merugi.
“Kalau semua yang merugikan keuangan negara dianggap sebagai Tipikor nah itu kan berbahaya. Karena nelayan yang menangkap ikan secara ilegal (illegal fishing) bisa dijerat UU Tipikor. Jangan nanti orang menggali tanah dianggap merusak lingkungan bisa dikenakan pasal tipikor. Fakta-faktanya kita lihat dulu,” ucap Mahmud.
Suami Artis Sandra Dewi, Harvey Moeis terseret dalam perkara ini. Harvey Moeis didakwa melakukan korupsi dan pencucian uang. Tuduhan pertama, dia disangkakan merugikan negara Rp300 triliun.
“Merugikan keuangan negara sebesar Rp300.003.263.938.131,14 berdasarkan laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara perkara dugaan tindak pidana korupsi tata niaga komoditas timah,” kata jaksa penuntut umum (JPU) pada Kejaksaan Agung (Kejagung) di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu, 14 Agustus 2024.
Uang yang sudah diterima diduga disamarkan Harvey. Dia membeli sejumlah barang sampai mengirimkan ke Sandra Dewi.
“Harvey Moeis (diduga melakukan) merupakan perbuatan menempatkan, menyembunyikan, atau menyamarkan sehingga seolah-olah harta kekayaan tersebut tidak ada kaitannya sebagai uang hasil tindak pidana korupsi,” kata jaksa.
Dalam pencucian uang ini, Harvey dibantu oleh Selebgram Helena Lim yang memiliki perusahaan money changer PT Quantum Skyline Exchange. Uang rupiah uang ditukarkan suami Sandra Dewi itu menjadi dolar Singapura dan Amerika dalam periode 2018 sampai 2023.