Ilustrasi biaya pendidikan. MI (Seno)
Media Indonesia • 3 May 2024 05:31
SETIAP perayaan, setiap peringatan semestinya selalu dijadikan ajang refleksi. Begitu pun dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang diseremonikan setiap tanggal 2 Mei. Momen itu kiranya wajib menjadi sarana introspeksi sekaligus evaluasi sistem pendidikan di Indonesia, mulai dari pendidikan tingkat dasar hingga tinggi.
Pada peringatan Hardiknas 2024 yang oleh pemerintah dipasangi tema Bergerak Bersama, Lanjutkan Merdeka Belajar, refleksi itu seharusnya juga tak boleh berhenti. Fakta di lapangan memperlihatkan, meskipun pemerintah saat ini aktif menggelorakan kredo sekaligus konsep Merdeka Belajar, nyatanya masih banyak masyarakat yang belum merasakan 'kemerdekaan' untuk bisa mengakses pendidikan murah.
Salah satunya dan yang paling kentara ialah akses untuk mendapatkan pendidikan tinggi. Tangan negara memang sudah menjangkau ke sana, tetapi tak bisa dimungkiri aura kapitalisme pendidikan tinggi juga menyeruak. Hal itu terutama bermula ketika sejumlah kampus negeri berganti status menjadi perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN BH).
PTN BH merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti). Meski tetap mendapat subsidi pendidikan dari negara, status PTN BH membuat kampus dapat menerima dana dari masyarakat. Harapan ideal dari PTN BH ialah kampus dapat meningkatkan mutu Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni Pendidikan dan pengajaran; Penelitian dan pengembangan; serta Pengabdian kepada masyarakat.
Konsep itu sebetulnya cukup ideal. Konsep keuangan yang fleksibel seperti itu juga dianut oleh universitas-universitas terbaik dunia, termasuk Harvard University, misalnya. Akan tetapi, implementasinya tentu saja beda di sana, lain pula di sini.
Kalau kita mengambil contoh Harvard, penghimpunan dana masyarakat itu didominasi dari donasi. Harvard bahkan tercatat sebagai universitas yang langganan bertengger di peringkat teratas dunia pengumpul donasi, mulai dari donasi internasional, donasi dalam negeri, hingga donasi alumni. Hasilnya, Harvard tidak saja membiayai perkuliahan dan berbagai riset, tetapi juga menghidupi rumah sakit hingga museum.
Namun, kampus-kampus di Indonesia tidak semampu itu menggalang donasi. Akibatnya, sebagai jalan pintas, kebanyakan PTN menerjemahkan pengumpulan dana masyarakat itu dengan menerapkan uang kuliah yang tinggi. Saking tingginya bahkan ada yang menyebutnya selangit karena tidak jarang uang kuliah yang ditetapkan di PTN jauh lebih tinggi ketimbang di perguruan tinggi swasta (PTS).
Baca Juga:
Hardiknas 2024, Menag: Program Merdeka Belajar Memanusiakan Manusia |