Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. FOTO: Kemenkeu.
Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan masalah geopolitik menjadi penting. Dunia selama dua-tiga dekade terakhir menghadapi dengan geopolitik yang relatif ringan.
Dengan geopolitik yang tidak tinggi tensinya, Tiongkok menjadi negara ekonomi terbesar kedua, menggunakan globalisasi masuk WTO, menarik banyak investasi, mengekspor produk ke seluruh negara terutama negara barat. Dalam kondisi itu, Tiongkok menjadi ekonomi yang besar.
Ini menyebabkan Tiongkok yang tadinya adalah salah satu negara yang banyak kemiskinannya sekarang menurun tajam. Indonesia-ASEAN juga sama, memanfaatkan globalisasi di dalam rangka untuk menarik investasi membuat ekspor maju, menciptakan lapangan kerja, menaikkan ekonomi serta kesejahteraan.
Namun dengan tensi global saat ini, negara-negara tidak mau melakukan ekspor impor Penanaman Modal Asing (PMA). Mereka akan melakukan investasi ekspor-impor hanya dengan negara temannya. Sekarang dengan Tiongkok dan Amerika sedang bersitegang, negara-negara mulai mencari supplier lain.
"Geopolitik membawa konsekuensi yang luar biasa," kata Menkeu dalam Kuliah Umum: Kebijakan Fiskal di Tengah Konstelasi Ketidakpastian Global, di Semarang, Senin, 23 Oktober 2023.
Geopolitik ini termasuk bagaimana antarnegara berebut pasokan alat kesehatan saat pandemi, juga bagaimana perubahan iklim yang berdampak luar biasa pada banyak negara, serta digital teknologi yang semuanya akan berdampak terhadap suatu perekonomian.
Dana moneter internasional (IMF) mengatakan pertumbuhan ekonomi dunia gelap dengan semua revisinya selalu ke bawah. Artinya semua ekonomi harus tahan terhadap kondisi yang semakin tidak pasti juga menjadi jauh lebih lemah.
Indonesia dalam hal ini terus harus mengantisipasi. Spillover atau dampak dari kebijakan di negara maju seperti Amerika, Eropa, Jepang, dan Korea, akan berdampak ke Indonesia. Amerika dan Eropa sedang melawan inflasinya. Sementara Tiongkok sedang melawan deflasi dan pelemahan ekonomi.
Mereka menggunakan instrumen fiskal dan moneternya namun tidak akan mempengaruhi ekonomi negara mereka sendiri, tetapi merambat kepada negara-negara terutama yang rapuh.
Waktu Amerika hanya dalam waktu 12 bulan menaikkan suku bunga dari 0,25 persen menjadi 5,25 persen hanya dalam waktu satu tahun, aliran modal lari ke Amerika Serikat, suku bunga melonjak, maka biaya modal menjadi sangat mahal.
"Yang bikin kebijakan Amerika yang kolaps banyak negara emerging dan developing," kata Menkeu.
Baca juga: Rentetan Risiko dan Ketidakpastian Global Bayang-bayangi Pertumbuhan Ekonomi RI
APBN jaga Indonesia dari guncangan
Dalam hal ini seperti ekonomi seluruh dunia menghadapi berbagai situasi ups and down, seperti menghadapi tingginya harga minyak dunia hampir ke USD100 per barel, terjadi perang geopolitik, ditambah Amerika Serikat masih tidak punya ketua DPR sehingga tidak bisa mengendalikan fiskal.
Maka Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melakukan pekerjaannya untuk menjaga Indonesia dari berbagai guncangan. Selama 12 tahun terakhir, begitu Amerika baru mengumumkan rencana mau menaikkan suku bunga, banyak negara yang kolaps.
"Istilahnya, negara seperti Amerika itu sedang bersin seluruh negara tetangganya kena flu, karena begitu dahsyatnya. Atau seperti Tiongkok ekonominya lemah saat ini, kemudian semua negara siap-siap 'kekurangan darah'," tutur Menkeu.
Di sini akan terlihat bagaimana suatu negara bisa menangani syok pada ekonominya. Ekonomi Indonesia, kata Menkeu, relatif bisa menjaga syok yang disebabkan oleh faktor eksternal. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak hanya sekedar menjaga stabilitas, juga menciptakan pemerataan.
Pemerintah ingin Indonesia terhindar dari middle income trap, maka produktivitas menjadi bagian yang paling penting. Ekonomi suatu negara tidak bisa tumbuh hanya dengan menambah konsumsi tanpa menciptakan suatu produktivitas.
Maka Indonesia perlu meningkatkan kemakmuran melalui faktor yang paling penting yaitu faktor total produktivitas. Anggaran pendidikan, kesehatan, dan jaring pengaman sosial secara langsung berkaitan dengan produktivitas, karena produktivitas itu ditentukan oleh kualitas pendidikan dan kesehatan manusia masyarakat Indonesia.
"Ini adalah salah satu bentuk investasi, dan menjadi penting karena manusia adalah kunci," jelas Menkeu.
Kemudian pembangunan infrastruktur dan konektivitas menjadi bagian dari cara manusia meningkatkan produktivitasnya. Mobilitas masyarakat menjadi tinggi dan akan menciptakan produktivitas.
Selanjutnya memastikan berjalannya birokrasi dan regulasi pemerintahan agar tidak menjadi faktor penghambat.
APBN akan tetap menjadi instrumen yang sangat penting.
Berkaca pada musibah pandemi covid, melalui instrumen fiskal APBN, Indonesia mampu mengelola situasi yang dahsyat, di saat semua negara mengalami kontraksi ekonomi. Meski demikian tidak semua negara pulih secara cepat dan merata.
Dalam situasi itu, pemerintah melakukan kebijakan extraordinary dalam suasana biasa APBN tidak boleh defisit lebih dari tiga persen. Di kondisi luar biasa, untuk fokus menangani pandemi, diterbitkan Perpu 1 Tahun 2020, dalam situasi tersebut dibolehkan defisit di atas tiga persen dari PDB. APBN harus hadir karena dibutuhkan untuk kesehatan, menangani ekonomi masyarakat, kerentanan sosial menjadi luar biasa besar.
"APBN harus hadir, memberikan dukungan bansos yang dipertebal, yang diperkuat, sampai kepada masalah kesehatan masyarakat," jelas Sri Mulyani.
Batas tiga tahun defisit di atas tiga persen dari PDB diberlakukan, sebab pengalaman berbagai negara apabila membuka anggaran defisit untuk tidak ada batasnya, akan menjadi adiksi atau ketergantungan dan lepas dari disiplin. Contoh dari berbagai negara banyak yang mengalami kondisi krisis utang.
"Untuk mengembalikan disiplin fiskal, Indonesia harus mengembalikan batas defisit kembali di bawah tiga persen. Indonesia menerapkan disiplin fiskal sejak Undang-undang keuangan negara 2003 dan UU perbendaharaan negara tahun 2004. APBN tidak boleh defisit lebih dari tiga persen per tahun dan utang tidak boleh lebih dari 60 persen dari GDP per tahun," tutur Sri Mulyani.