M Sholahadhin Azhar • 10 June 2025 13:37
Jakarta: Pengelolaan sumber daya alam (SDA) perlu proporsional dan berkelanjutan. Hal tersebut sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait judicial review Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
“Mahkamah Konstitusi mengakui potensi ekonomi pulau-pulau kecil sebagai pilar pengembangan nasional, namun menuntut pengelolaan yang proporsional dan berkelanjutan,” kata peneliti Alpha Research Database Indonesia Ferdy Hasiman, dalam keterangan tertulis, Selasa, 10 Juni 2025.
Hal tersebut diungkap Ferdy, merespons operasional PT GAG Nikel di Pulau Gag, Raja Ampat. Menurut dia, pengelolaan SDA nikel tersebut, dijalankan dengan pijakan regulasi nasional dan daerah yang jelas, sekaligus memenuhi prinsip keberlanjutan lingkungan.
Putusan MK, kata dia, diperkuat Peraturan Daerah Kabupaten Raja Ampat Nomor 3 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2011–2030. Perda tersebut menetapkan Pulau Gag sebagai kawasan peruntukan pertambangan mineral (Pasal 33 ayat 2 huruf a). Dengan luas wilayah lindung ±6.069 ha, zonasi ini memastikan semua kegiatan pertambangan berjalan sesuai peta kesesuaian dan diawasi ketat pemerintah daerah.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 (Cipta Kerja) Pasal 372 mengatur bahwa kuota persetujuan penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan mineral pada “pulau yang termasuk pulau kecil” maksimal 10 % dari luas total Kawasan Hutan Produksi dan Hutan Lindung.
"Ketentuan ini menjamin bahwa GAG Nikel beroperasi dalam batas kuota minimal, sehingga potensi dampak ekologis dapat diminimalisir," kata Ferdy.
Di samping itu, izin Kontrak Karya PT GAG Nikel telah terbit sejak tahun 1998, jauh sebelum diberlakukannya UU Nomor 1 Tahun 2014. Luas bukaan lahan operasional pun hanya 190 ha dari total ±6.069 ha kawasan lindung dan produksi, setara sekitar 3,17%, jauh di bawah ambang batas yang disyaratkan.
Hasil pengawasan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak menemukan temuan signifikan terkait kerusakan lingkungan. Bahkan, masyarakat Pulau Gag secara tegas menyatakan dukungannya agar PT GAG Nikel tetap beroperasi.
"Tambang ini bukan hanya untuk mendukung kesejahteraan masyarakat Pulau Gag, tetapi juga untuk kepentingan nasional. Jika operasional dihentikan padahal semua persyaratan pemerintah telah dipenuhi, akan menyulitkan upaya menarik investor di sektor pertambangan," kata Ferdy.
Berdasarkan fakta hukum ini, Ferdy menilai PT GAG Nikel menjalankan operasional berkelanjutan sesuai landasan hukum yang kuat. Tak hanya itu, operasional GAG Nikel dinilai sesuai ketentuan tata ruang yang telah ditetapkan Pemerintah Kabupaten Raja Ampat, dengan memverifikasi setiap titik lokasi tambang berdasarkan peta RTRW.
"Selain itu, perusahaan menjalankan kegiatan pertambangan hanya pada area yang tidak melebihi 10 % kuota penggunaan kawasan hutan kecil, sesuai ketentuan Pasal 372 UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja, sehingga potensi dampak ekologis dapat diminimalisir," kata Ferdy.
Sejak 2018, program reklamasi dan revegetasi terukur juga telah dijalankan, mengembalikan produktivitas lahan bekas tambang dan mendukung pemulihan ekosistem lokal melalui penanaman bibit endemik serta perawatan berkelanjutan.
Dengan kesesuaian terhadap peraturan daerah dan undang-undang nasional—serta penerapan Good Mining Practice—PT GAG Nikel menunjukkan bahwa eksploitasi sumber daya mineral dapat selaras dengan pelestarian lingkungan dan memberi kontribusi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat di Raja Ampat.