Sidang Sengketa PSU Kembali Digelar, Mayoritas Dugaan Soal Politik Uang

Ilustrasi sidang di Mahkamah Konstitusi/MI/Devi

Sidang Sengketa PSU Kembali Digelar, Mayoritas Dugaan Soal Politik Uang

Devi Harahap • 15 May 2025 12:23

Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menyidangkan gugatan sengketa hasil pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada 2024 di lima daerah. Beragam persoalan menjadi pertimbangan para pemohon mengajukan gugatan, mulai syarat administrasi pencalonan hingga yang terbanyak menyoal praktik politik uang.

Perkara yang disidangkan pada Kamis, 15 Mei 2025, adalah sengketa hasil pemungutan suara ulang (PSU) di Kota Banjarbaru, Kabupaten Gorontalo Utara, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Bengkulu Selatan, Kabupaten Empat Lawang.

Dari beragam persoalan itu, dugaan politik uang paling banyak didalilkan oleh para pemohon yang setidaknya muncul di tiga daerah, yakni Kabupaten Gorontalo Utara, Kota Banjarbaru, dan Kabupaten Tasikmalaya. 

Salah satunya permohonan pelanggaran politik uang diajukan Roni Imran dan Ramdhan Mapaliey selaku pasangan calon kepala daerah-wakil kepala daerah nomor urut 01 peserta PSU Pilkada Kabupaten Gorontalo Utara.

Kuasa Hukum Pemohon, Heru Widodo mengatakan bahwa terjadi pelanggaran politik uang oleh Paslon nomor urut 2 di hampir seluruh wilayah Kabupaten Gorontalo Utara. 

“Fakta hukum tentang pelanggaran hukum berupa politik uang tersebar di 35 desa pada 9 kecamatan. Di mana di 9 kecamatan, terjadi peningkatan perolehan suara pasangan calon nomor urut 2 sangat signifikan sekali,” kata dia. 
 

Baca: KPU Optimistis Pilkada Ulang di Barito Utara Tak Terhambat Biaya

Selain itu, Heru menjelaskan dalam kampanye dialogis di Desa Molingkapoto Kecamatan Kwandang, tanggal 15 April 2025, Paslon No. urut 2 membagi-bagikan uang kepada masyarakat yang hadir.

“Hal ini tentu dilarang oleh Pasal 73 UU 10/2016 sehingga kemenangannya dalam PSU Kabupaten Gorontalo Utara tanggal 19 April 2025, berdasarkan Pasal 135A ayat (1) UU 10/2016 beralasan hukum untuk didiskualifikasi,” kata Heru. 

Heru lebih jauh mengungkapkan bahwa pemberian uang di sejumlah wilayah dilakukan dengan cara transfer ke Rekening Kades. Hal ini setidaknya terjadi di hampir 11 desa dan dilakukan hingga masa tenang pada 17 April 2025. 

“Pertemuan diadakan dengan dalih Silaturahmi dan Pembagian THR kepada 11 Kades tersebut diikuti penyampaian dukungan para Kades kepada Pasion No. 2 setelah transfer diterima,” imbuhnya. 

Dugaan politik uang juga masif terjadi di Pilkada PSU Kabupaten Banjarbaru. Muhamad Pazri selaku kuasa hukum para Pemohon, menyampaikan bahwa telah terjadi pelanggaran bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) selama PSU. 

Pazri menyebut ada praktik politik uang, ketidaknetralan aparatur negara, serta intimidasi terhadap pemilih dan pemantau pemilu.

“Dalam PSU Banjarbaru terjadi apa yang kami sebut DUIToktasi, yakni demokrasi yang dibajak melalui politik uang dan intimidasi,” kata Pazri. 

Ia juga menyebut nama Ghimoyo, mantan CEO Jhonlin Group yang kini menjabat Direktur Utama BUMN dan dikenal sebagai Presiden Relawan Dozer, sebagai salah satu aktor yang diduga terlibat.

Menurut Pazri, pasangan calon tunggal Erna Lisa Halaby dan Wartono didukung oleh 13 partai politik dan memperoleh 36.135 suara sah atau 31,5%. Sementara itu, suara tidak sah mencapai 78.736 atau 68,5%. 

“Permohonan ini, lanjutnya, merupakan bentuk ‘jihad konstitusional’ demi menegakkan prinsip pemilu yang luber dan jurdil,” tuturnya.

Semenatra itu, Denny Indrayana selaku kuasa hukum Pemohon lainnya menambahkan bahwa praktik politik uang terjadi hampir di seluruh kecamatan. Ia menyoroti pernyataan Ghimoyo yang mengatakan ‘dari 75.000 kita siram’ yang dinilai sebagai upaya menyuap pemilih.

Ia juga mengkritik intimidasi terhadap pemohon, termasuk pemanggilan oleh Bawaslu dan Polres Banjarbaru, serta pencabutan akreditasi lembaga pemantau.

Dalam permohonan tersebut, para pemohon turut menyoroti sejumlah kejanggalan teknis, di antaranya tidak adanya panduan teknis di TPS untuk memilih antara calon tunggal dan kolom kosong, perbedaan daftar pemilih tetap (DPT) antara Pilkada 27 November 2024 dan PSU 19 April 2025, minimnya sosialisasi kepada pemilih serta distribusi undangan memilih yang tidak merata.


Intimidasi lembaga pemantau 

Selain politik uang, dalil lain yang diajukan pemohon dalam sidang perkara sengketa hasil PSU adalah adanya dugaan intimidasi terhadap pemohon sengketa Pilkada PSU Kabupaten Banjarbaru. Intimidasi itu ditujukan kepada Syarifah Hayan selaku perwakilan pemantau pemilu dari Lembaga Pengawasan Reformasi Indonesia (LPRI). 

Syarifah juga mempersoalkan pelaksanaan PSU yang tidak menyediakan opsi “kolom kosong” dalam surat suara, padahal Pilwalkot Banjarbaru hanya diikuti satu pasangan calon.

Dalam sidang pendahuluan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, prinsipal Syarifah mengungkapkan bahwa dirinya mengalami intimidasi dan tekanan setelah mengajukan permohonan ke MK. Ia menyebut izin LPRI sebagai lembaga pemantau telah dicabut, bahkan dirinya ditetapkan sebagai tersangka oleh aparat penegak hukum.

“Kami tidak mengerti. Menjelang sidang, KPU, Bawaslu, dan Gakkumdu justru mencabut akreditasi pemantau kami dan memproses kami secara hukum. Saya merasa ini bagian dari upaya menghalangi proses hukum yang sedang kami tempuh,” ujar Syarifah di hadapan majelis hakim.

Syarifah juga menyebut adanya tekanan dari berbagai pihak agar mencabut gugatan, namun ia menegaskan akan tetap melanjutkan perjuangan. “Insyaallah kami tidak akan mundur. 

Sementara itu, hakim konstitusi Enny Urbaningsih meminta kepada Bawaslu untuk memberikan penjelasan terkait tindak lanjut persoalan praktik politik uang di sejumlah PSU Pilkada. Hal itu dapat disampaikan pada sidang pembuktian selanjutnya dengan cara mendengarkan jawaban pihak terkait. 

“Terkait dengan laporan politik uang itu apakah sudah ditindak lanjuti dari Bawaslu, tolong nanti jelaskan bagaimana tindak lanjut dari politik uang tersebut,” katanya.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(M Sholahadhin Azhar)