Rupiah. Foto: dok MI.
Jakarta: Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan perdagangan hari ini kembali mengalami pelemahan.
Mengutip data Bloomberg, Selasa, 25 Maret 2025, nilai tukar rupiah terhadap USD ditutup di level Rp16.612 per USD. Mata uang Garuda tersebut melemah 45 poin atau setara 0,27 persen dari posisi Rp16.567 per USD pada penutupan perdagangan hari sebelumnya.
"Pada perdagangan sore ini, mata uang rupiah ditutup melemah 45 poin, sebelumnya sempat menguat 55 poin di level Rp16.612 dari penutupan sebelumnya di level Rp16.567," kata analis pasar uang Ibrahim Assuaibi dalam analisis harian.
Sementara itu, data Yahoo Finance juga menunjukkan rupiah berada di zona hijau pada posisi Rp16.590 per USD. Rupiah turun 41 poin atau setara 0,25 persen dari Rp16.549 per USD di penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Sedangkan berdasar pada data kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), rupiah berada di level Rp16.622 per USD. Mata uang Garuda tersebut melemah 61 poin dari perdagangan sebelumnya di level Rp16.561 per USD.
(Ilustrasi kurs rupiah terhadap dolar AS. Foto: MI/Susanto)
Rupiah 'kegencet' tantangan global
Ibrahim mengatakan, berdasarkan pengamatannya, pelemahan rupiah dipengaruhi tantangan global yang ditandai dengan tren proteksionisme yang semakin menguat terutama di negara-negara maju.
"Ditambah berbagai variabel domestik yang juga tidak mudah, akan menyulitkan perekonomian Indonesia. Target pertumbuhan ekonomi di atas lima persen di tahun ini, yang digadang-gadang oleh pemerintah tinggal mimpi," keluh Ibrahim.
Pertumbuhan ekonomi pada 2025 hanya akan sebesar 4,9 persen, lebih rendah ketimbang prediksi sebelumnya di angka 5,1 persen. Pertumbuhan rendah diperkirakan berlanjut pada 2026 di 4,9 persen dibandingkan proyeksi sebelumnya 5,15 persen.
"Penurunan tersebut mencerminkan outlook investasi yang lebih lemah dan kenaikan risiko perdagangan dari ancaman tarif Presiden AS Donald Trump," beber dia.
Menurut Ibrahim, perekonomian sebenarnya sudah menunjukkan kelesuan bahkan ketika ancaman tarif Trump belum terlalu memanas. Arus pemutusan hubungan kerja besar-besaran yang melanda industri padat karya seperti tekstil, telah melukai konsumsi rumah tangga.
Selain itu, ketidakpastian yang menyertai transisi kepemimpinan baik di Indonesia maupun di AS telah berdampak pada permintaan kredit.
Walaupun Bank Indonesia telah melakukan intervensi di pasar valas dan obligasi diperdagangkan DNDF. Namun kekhawatiran investor telah meningkat karena inisiatif fiskal ekspansif Presiden Prabowo Subianto, yang telah menyebabkan pemotongan anggaran yang signifikan di sektor-sektor penting seperti pendidikan dan pekerjaan umum.
"Akibatnya, pasar saham mengalami penurunan tajam terus-menerus bulan ini," jelas Ibrahim.