Podium MI: Rehabilitasi

Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar. Foto: MI/Ebet.

Podium MI: Rehabilitasi

Abdul Kohar • 13 December 2025 06:58

HAMPIR setiap kali langit Nusantara menggelap dan sungai-sungai meluap, kita seperti menonton ulang drama lama yang naskahnya tak pernah direvisi. Banjir datang, pemerintah daerah tergopoh-gopoh menetapkan status darurat, lalu anggaran rehabilitasi digelontorkan. Begitu-begitu terus, berulang-ulang.

Setelah itu? Kita kembali pada kebiasaan semula: membangun di bantaran sungai, menebangi pohon dan menggunduli bukit, serta membiarkan drainase menjadi fosil perkotaan. Apa yang terjadi di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat ialah parade bagaimana pembiaran itu direpetisi demi kelangsungan ekonomi sembari melupakan ikhtiar ekologis.

Kini, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan bahwa pemerintah menyiapkan anggaran rehabilitasi dampak banjir dan tanah longsor Sumatra dan Aceh sebesar Rp60 triliun. Jumlah anggaran yang selalu terdengar fantastis. Sejumlah orang pun mulai bertanya, apakah uang itu benar-benar menjadi alat pulih atau sekadar plester untuk luka yang sama setiap tahun?

Kita seperti sedang menjustifikasi sebuah parafrase yang pernah ditulis oleh Hegel: 'Satu-satunya hal yang diajarkan sejarah ialah bahwa manusia tidak belajar dari sejarah'.

Baca juga: Momen Prabowo Cek Tumpukan Kayu Terbawa Banjir di Aceh Tamiang

Masalah banjir dan tanah longsor di Aceh dan Sumatra bukan semata curah hujan ekstrem. Ia merupakan akumulasi salah kelola ruang, lemahnya pengawasan, serta proyek-proyek yang lebih mengejar seremoni dan hasil ekonomi ketimbang daya tahan lingkungan. Di sinilah anggaran rehabilitasi sering terjebak dalam lingkaran klise, yakni digerojokkan tanpa diperjelas efektivitasnya.

Rehabilitasi pascabencana jelas tidak boleh sebatas perbaikan fisik. Ia harus menjadi momentum memperbaiki tata ruang, menegakkan aturan, dan menyiapkan sistem mitigasi yang bekerja bahkan ketika rezim berganti. Membangun tanggul tanpa membenahi izin alih fungsi lahan hanyalah meletakkan karpet merah bagi banjir berikutnya.

Karena itu, anggaran rehabilitasi banjir Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat harus menjawab tiga pertanyaan mendasar. Pertanyaan tersebut, pertama, mengapa wilayah itu selalu banjir? Jika penyebabnya struktural, anggaran harus diprioritaskan untuk perubahan struktural pula.

Kedua, siapa yang bertanggung jawab memperbaiki? Rehabilitasi bukan proyek yang boleh kabur akuntabilitasnya di antara instansi. Ia mesti transparan dan akuntabel. Anggaran bencana sama sekali tak boleh secuil pun dimaknai sebagai 'proyek'. Akuntabilitas akan menutup celah bagi para pemburu rente.

Ketiga, anggaran rehabilitasi mesti menjawab pertanyaan ihwal apa saja indikator keberhasilannya? Tanpa ukuran yang jelas, misalnya penurunan daerah rawan, perbaikan daya serap tanah, dan berfungsinya kanal, angka triliunan rupiah itu hanya akan hilang dalam laporan.

Masyarakat Sumatra dan Aceh tidak butuh anggaran yang besar semata. Mereka butuh anggaran yang tepat guna, tepat sasaran, dan tepat waktu. Mereka menuntut keberpihakan yang tidak sekadar ditulis dalam dokumen perencanaan, tetapi juga terasa ketika hujan deras mengguyur dan kampung mereka tetap kering.

Longsor di Kecamatan Adian Koting, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatra Utara. Foto: MI/Januari Hutabarat.

Pengalaman Brasil dalam gerakan 'penghutanan kembali' setelah rusaknya Hutan Amazon bisa dijadikan cermin. Sejak dua tahun lalu (2023), pemerintah Brasil melalui program Restaura Amazonia mengalokasikan sebesar BRL1 miliar (setara sekitar Rp3,07 triliun) di awal inisiatif. Sumber dana berasal dari Amazon Fund dan Climate Fund untuk pemulihan hutan, termasuk restorasi ekologis. Itu merupakan bagian dari dana besar yang menargetkan pemulihan jutaan hektare hutan hingga 2030.

Di samping itu, kontribusi program restorasi publik seperti panggilan proyek Restore Amazon menyertakan BRL150 juta (sekitar Rp500 miliar) yang dialokasikan pada 2025 untuk restorasi dengan spesifik tata guna tanah atau inisiatif produktif. Data dari BNDES (bank pembangunan Brasil) menunjukkan bahwa bank itu telah memobilisasi sekitar BRI 3,4 miliar (sekitar Rp10,5 triliun) sejak 2023 untuk konservasi, restorasi, dan pengelolaan hutan.

Penyediaan anggaran itu juga dibarengi dengan langkah-langkah konkret. Langkah-langkah itu di antaranya penegakan hukum lingkungan yang ketat lewat Sistem Informasi Lingkungan (Sisnama) dan UU Kehutanan Federal (Forest Code) yang mengatur batas minimum kawasan hutan yang wajib dipertahankan di tanah privat. Selain itu, larangan tegas pembukaan lahan dengan cara membakar serta kewajiban izin untuk menebang pohon.
Baca juga: Pakar UGM Sarankan Perbaikan Vegetasi Hutan Atasi Bencana di Aceh dan Sumatra

Sejak itu, jumlah penangkapan dan denda untuk penebang liar meningkat sehingga deforestasi turun drastis di Amazon. Pengawasan hutan menggunakan satelit real-time di bawah lembaga antariksa Brasil (INPE) juga digalakkan. Sistem tersebut memantau deforestasi setiap hari, mengirim peringatan ke polisi lingkungan, serta membuat aktivitas ilegal sulit disembunyikan.

Operasi lapangan terhadap pembalakan dan pertambangan ilegal tak pernah sepi. Penyitaan alat berat, penutupan tambang liar, pembongkaran kamp penebang hutan, hingga embargo lahan yang ditanami secara ilegal terus dilakukan.

Anggaran rehabilitasi juga untuk pemberdayaan masyarakat adat dan komunitas tradisional (benteng efektif menjaga hutan), merestorasi ekosistem secara besar-besaran melalui Initiative Mata Atlantica, perlindungan kawasan konservasi yang luas, perubahan kebijakan pemerintahan tertentu yang sangat pro lingkungan, hingga menghubungkan perlindungan hutan dengan ekonomi.

Hasilnya, dalam beberapa tahun terakhir, Brasil berhasil menurunkan laju kehilangan hutan secara signifikan melalui kombinasi penegakan hukum, kebijakan nasional, teknologi, dan keterlibatan masyarakat adat tersebut.

Pada akhirnya, rehabilitasi bukan soal berapa uang dikeluarkan, melainkan berapa banyak bencana yang berhasil dicegah setelahnya. Bila anggaran itu kembali dikelola tanpa disiplin, tanpa transparansi, dan tanpa kesungguhan moral, kita hanya memperpanjang daftar rutinitas pahit yang sama, yakni banjir datang, anggaran keluar, persoalan tinggal.

Aceh, Sumatra, dan wilayah lainnya berhak atas perubahan yang lebih dari itu. Mereka berhak atas negara yang hadir dengan akal sehat, bukan sekadar anggaran. Ada kritik penting dari George Bernard Shaw yang patut kita renungkan: "Kita belajar dari sejarah bahwa kita tidak pernah belajar apa pun dari sejarah."

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Anggi Tondi)