Ilustrasi energi baru dan terbarukan (EBT). Foto: Freepik.
Media Indonesia • 18 January 2024 16:20
Jakarta: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah melaporkan realisasi energi baru terbarukan (EBT) pada 2023 hanya sebesar 13,1 persen dari target 17,9 persen dalam mencapai 23 persen pada 2025.
Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang pencapaian energi terbarukan pada 2023 sangat kontras dengan peningkatan produksi dan pemanfaatan energi fosil yang terus meningkat. Tren tersebut berlawanan dengan semangat transisi energi menuju net zero emission yang telah digaungkan pemerintah sejak 2021 lalu.
IESR menilai rendahnya pencapaian bauran target energi terbarukan bersifat sistemik. Hal itu disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya keterlambatan lelang pembangkit energi terbarukan oleh PLN sejak 2019, kendala eksekusi proyek-proyek yang sudah kontrak karena bankability, kenaikan tingkat suku bunga keuangan dalam dua tahun terakhir, serta pandemi covid-19.
Sejumlah proyek energi terbarukan, terutama PLTA dan PLTP yang menjadi andalan pemerintah seperti PLTA Batang Toru, PLTP Baturaden, dan PLTP Rajabasa yang mundur waktu penyelesaiannya ditengarai berkontribusi pada rendahnya capaian bauran energi terbarukan di 2023.
Demikian juga proses revisi Permen ESDM Nomor 26/2021 yang berlarut-larut menghambat implementasi PLTS atap sehingga PSN PLTS atap 3,6 GW tidak berjalan.
Pemerintah berencana untuk mengejar pembangunan pembangkit energi baru terbarukan skala besar, di antaranya PLTS terapung dan PLTB. Peta jalan PLTS atap pun telah disiapkan dengan target 2023 sebesar 900 MW dan 2024 sebesar 1.800 MW.
Hanya saja, menurut Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa, regulasi PLTS atap yang tak kunjung selesai membuat adopsi PLTS atap turun di sektor residensial dan bisnis, masing-masing sebesar 20 persen dan enam persen. Akibatnya, berdasarkan analisis IESR, pada kuartal kedua 2023, kapasitas terpasang dari PLTS atap kumulatif hanya mencapai 100 MW, jauh di bawah target yang seharusnya mencapai 900 MW pada 2023.
"Pemerintah masih punya waktu dua tahun untuk mengejar target 23 persen bauran energi terbarukan, tapi perlu ada komitmen politik, dukungan PLN, dan langkah-langkah extraordinary," ungkap Fabby dalam keterangannya di Jakarta, Senin, 15 Januari 2024.
Menurut dia, ada sejumlah cara untuk mencapai target tersebut, antara lain mempercepat eksekusi-eksekusi proyek yang sudah kontrak, khususnya dari Independent Power Producer (IPP). Selain itu, pemerintah harus mendesak PLN melakukan lelang pembangkit skala besar secara reguler selama tahun ini, penyederhanaan negosiasi Perjanjian Jual Beli Listrik (Power Purchase Agreement, PPA) sehingga proyek-proyek tersebut bisa dieksekusi tahun ini.
"Untuk mengejar target 10,6 GW dalam dua tahun, pemerintah harus mengandalkan PLTS terapung, ground mounted dan ditambah dengan 3,6 GW target kapasitas terpasang PLTS atap. Oleh karena itu implementasi revisi Permen Nomor 26/2021 tidak boleh lagi tertunda," tegas Fabby.
Dalam hal investasi energi terbarukan, dari target sebesar USD1,8 miliar, hanya tercapai USD1,5 miliar. Sementara pada 2024, pemerintah menargetkan USD2,6 miliar. Jumlah tersebut masih jauh dari kebutuhan pendanaan energi terbarukan sebesar USD25 miliar per tahun hingga 2030 untuk mencapai NZE pada 2060.
Baca juga: PLTU dan Infrastruktur Jadi Biang Kerok Pertumbuhan Bauran Energi Terbarukan Lambat