Ilustrasi PLTU. Foto: MI/Ramdani.
Jakarta: Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif membeberkan biang kerok yang menyebabkan lambatnya pertumbuhan realisasi bauran energi baru dan terbarukan (EBT). Keduanya adalah PLTU dan infrastruktur.
Dia mengungkapkan realisasi bauran energi baru dan terbarukan (EBT) di 2023 hanya 13,1 persen.
Angka itu di bawah target yang ditetapkan sebesar 17,9 persen. Bahkan, jauh dari target di 2025 yang sebesar 23 persen.
"Kita melihat peningkatan (bauran EBT), tapi belum signifikan. Sehingga, perlu upaya-upaya keras untuk bisa mendekati target capaian di 2025. Saat ini bauran EBT kita masih pada level 13,1 persen," ungkap Arifin dalam konferensi pers Capaian Sektor ESDM 2023 di Kantor Kementerian ESDM dilansir Media Indonesia, Selasa, 16 Januari 2024.
Dibandingkan capaian bauran EBT di 2022 dengan realisasi 12,3 per maka kenaikan bauran EBT di tahun lalu hanya tipis, tak mencapai satu persen.
Penyebab peningkatan bauran EBT
Arifin menerangkan salah satu penyebab peningkatan bauran EBT di 2023 minim karena sistem ketanagalistrikan di Tanah Air masih didominasi pembangkit tenaga listrik uap (PLTU).
Indonesia masih tersandera dengan proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) 35.000 megawatt (MW) atau 35 GW era Presiden Jokowi.
Proyek tersebut direncanakan sejak 2015 dan sebagian besar telah memasuki masa konstruksi dan akan kelar di 2030.
"Masalahnya ini tergantung dari sistem listrik kita yang disebabkan (proyek PLTU) kapasitas 35W yang belum terselesaikan," jelas Arfin.
Selain itu, mandeknya peningkatan bauran EBT di Tanah Air ialah persoalan pembangunan infrastruktur pembangkit EBT yang dinilai belum masif. Hal ini pun mempengaruhi demand atau kebutuhan akan proyek-proyek EBT dalam negeri.
"Sistem kita dalam infrastruktur sudah bisa mendukung apa belum secara keseluruhan? Kita juga harus perbaiki sistem yang ada sehingga sempurna. Kemudian ada dampak dari pengurangan demand," ucap Arifin.
Adapun strategi pemerintah untuk peningkatan bauran EBT ialah mengejar target pembangunan pembangkit listrik hijau dengan kapasitas 10,6 GW sesuai Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).
Lalu, implementasi program pembangkita listrik tenaga surya (PLTS) atap.
"PLTS atap ini sebetulnya dapat mempercepat (bauran EBT), tapi tentu saja harus di sesuaikan dengan kemampuan masyarakat dan kemampuan dari PLN untuk bisa mengakomodirnyA," imbuh Arifin.
Kemudian, pemerintah akan melakukan program konversi dari pembangkit diesel ke EBT dan juga program mandatori Biodiesel 35 (B35) yang targetnya pada 2025 ini sebesar 13,9 juta kiloliter (KL).
(Insi Nantika Jelita)