Akibat Air Galon

Dewan Redaksi Media Group Abdul Kohar. Foto: MI/Ebet.

Akibat Air Galon

Abdul Kohar • 30 October 2024 05:40

ADA hubungan spesial apa antara kelas menengah dan air galon? Bagi sebagian besar orang, hubungan keduanya sebatas urusan haus dan minum. Tidak lebih dari sekadar itu. Namun, bagi ekonom senior yang juga mantan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, hubungan antara kelas menengah dan air galon sangat erat dan bersifat kausalitas.

Menurut analisis mantan Kepala Bappenas itu, turunnya tingkat ekonomi kelas menengah di Indonesia tidak hanya terjadi karena pandemi covid-19 dan banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK). Ada faktor lain yang 'unik' ikut memengaruhi kelas menengah kian terengah-engah, yakni akibat kebiasaan sehari-hari minum air kemasan, seperti air dalam galon.

"Selama ini secara tidak sadar itu (air kemasan dan air galon) sudah menggerus income kita secara lumayan dengan style kita yang mengandalkan semua kepada air galon, air botol, dan segala macamnya," kata Bambang dalam sebuah forum kajian di Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, bulan lalu.

Banyak yang menertawakan analisis itu. Ada yang menyebutnya menghubung-hubungkan jatuhnya kelas menengah gara-gara konsumsi air galon terlalu berlebihan dan tidak masuk akal. Namun, diam-diam tidak sedikit pula yang sepakat dengan analisis Bambrod (sapaan kalangan dekat terhadap Bambang) itu, termasuk saya.
 

Baca juga: 

BI: Kinerja Dunia Usaha Terjaga di Triwulan III-2024


Apa justifikasi Bambang atas pernyataannya itu? Begini kata dia: kebiasaan mengonsumsi air dalam kemasan tidak terjadi di semua negara. Di negara maju, misalnya, warga kelas menengah terbiasa menenggak air minum yang disediakan pemerintah di tempat-tempat umum. Dengan adanya fasilitas air minum massal itu, masyarakat negara maju tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli minum.

Karena itu, daya beli kelas menengah mereka aman karena untuk air pun mereka tidak perlu mengeluarkan uang terlalu banyak. Itu berbeda dengan di Indonesia. Saya mencoba menghitung berapa 'kontribusi' konsumsi air mineral kemasan dalam menggerus kantong kelas menengah. Hasilnya, lumayan dalam.

Tiap orang di negeri ini, saban hari butuh minimal tiga kemasan air mineral ukuran 1,5 liter. Dengan asumsi harga air kemasan ukuran 1,5 liter sekitar Rp7.000, tiap hari tiap orang mesti merogoh kantong Rp21 ribu per orang. Itu artinya, dalam sebulan, untuk urusan minum air saja tiap kelas menengah mesti membelanjakan uang sedikitnya Rp630 ribu. Angka itu setara hampir sepertiga pengeluaran kelas menengah level terbawah di Indonesia per bulan.

Benar bahwa faktor kebutuhan air minum hanyalah satu dari banyak faktor lain yang menyebabkan banyak kelas menengah turun kasta ke kelas ekonomi yang lebih rendah. Pandemi covid-19, misalnya, membuat banyak kelas menengah kehilangan pekerjaan. Begitu pandemi pergi, lapangan kerja tidak tersedia seperti saat sebelum covid-19 melanda. Yang terjadi justru banyak industri pailit, bahkan gulung tikar.
 
Baca juga: Masyarakat Kelas Menengah Perlu Perhatian Khusus

Namun, bila faktor kesediaan air minum bisa dicukupi tanpa harus bergantung pada air kemasan atau air galon, setidaknya pengeluaran kelas menengah bisa lumayan terjaga. Minimal ada sedikit ruang untuk membeli keperluan mendesak lainnya. Bila negara mampu menyediakan instalasi air bersih layak diminum ke rumah-rumah warga dengan tarif terjangkau, seperempat uang mereka bisa disimpan.

Badan Pusat Statistik mencatat pada 2019 jumlah kelas menengah di Indonesia masih 57,33 juta orang atau setara 21,45?ri total penduduk. Namun, pada 2024, jumlah mereka hanya tersisa 47,85 juta orang atau setara 17,13?ri total jumlah penduduk. Artinya, ada 9,48 juta warga kelas menengah yang turun kelas.

Pada saat bersamaan, data kelompok masyarakat kelas menengah rentan atau aspiring middle class malah naik, dari hanya sebanyak 128,85 juta, atau 48,20?ri total penduduk pada 2019, menjadi 137,50 juta orang, atau 49,22?ri total penduduk pada 2024. Demikian juga dengan angka kelompok masyarakat rentan miskin yang ikut membengkak dari 54,97 juta orang, atau 20,56% di 2019, menjadi 67,69 juta orang, atau 24,23?ri total penduduk pada 2024. Artinya, banyak golongan kelas menengah yang turun kelas ke kedua kelompok itu.

Sekali lagi, bila soal konsumsi air ini bisa diatasi, kiranya jumlah kelas menengah kita tidak turun sedrastis sekarang ketimbang jumlah di lima tahun lampau. Karena itu, saya sepakat dengan analisis Pak Bambang itu. Apa yang disampaikannya itu juga selaras dengan sebuah laporan terbaru dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), bahwa air galon yang kian tidak terjangkau amat potensial menghambat pembangunan.

Laporan itu mengatakan bahwa hanya dalam lima dekade, air kemasan telah berkembang menjadi 'sektor ekonomi utama dan berdiri sendiri'. Hal itu berdasarkan analisis literatur dan data dari 109 negara. Laporan itu menyebut industri air kemasan telah tumbuh 73?ri 2010 hingga 2020. Penjualan produk itu diperkirakan hampir dua kali lipat pada 2030, dari US$270 miliar menjadi US$500 miliar.

Laporan yang dirilis Institute for Water, Environment, and Health bagian dari UN University (UNU-IWEH) itu menyimpulkan bahwa ekspansi tak terbatas dari industri air kemasan tidak selaras secara strategis dengan tujuan menyediakan akses universal ke air minum bagi warga dunia. Itu setidaknya memperlambat kemajuan global, mengganggu upaya pembangunan, dan mengalihkan perhatian ke pilihan yang kurang dapat diandalkan dan kurang terjangkau bagi banyak orang.

Nah, kalau PBB saja sudah mengendus potensi besar kerugian pembangunan akibat ketergantungan terhadap air galon atau air kemasan, masihkah kita menertawakan analisis yang menyebutkan bahwa air galon jadi salah satu faktor penurunan daya beli kelas menengah? Sungguh terlalu.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Anggi Tondi)