Forum membahas program biodiesel/Istimewa
M Sholahadhin Azhar • 16 August 2025 10:42
Jakarta: Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mendorong pemerintah melibatkan petani sawit, dalam transisi program biodiesel nasional, dari B40 pada 2025 menuju B50 pada awal 2026. Sehingga, mewajibkan perusahaan penerima subsidi bermitra langsung dengan petani sawit.
"Program biodiesel ini sudah jadi Proyek Strategis Nasional, tapi kalau petani sebagai penyedia bahan baku utamanya tidak dilibatkan secara langsung, maka manfaatnya tidak akan sampai ke akar rumput," kata Ketua SPKS, Sabarudin, dalam keterangan yang dikutip Sabtu, 16 Agustus 2025.
Hal itu diungkap Sabarudin dalam Independence Energy Forum bertema “Inovasi dan Masa Depan Sawit Menuju Swasembada Energi Nasional”. Agenda digelar Ikatan Keluarga Alumni Ikatan Senat Mahasiswa Ekonomi Indonesia (IKA ISMEI) di Tebet, Jaksel.
Baca:
Sawit RI Harus Bebas Hambatan Masuk Pasar Eropa |
Program B50 yang akan mewajibkan pencampuran 50 persen minyak sawit dalam bahan bakar diesel. Hal tersebut diproyeksikan mengalihkan volume besar crude palm oil (CPO) untuk penggunaan domestik, mendorong investasi hilir biodiesel, dan mengurangi emisi karbon.
Presiden Prabowo Subianto bahkan menyatakan kebijakan ini bisa menghemat hingga USD20 miliar per tahun dari pengurangan impor solar. Sabarudin menyampaikan petani kelapa sawit mendukung program pemerintah untuk transisi B50, namun dengan syarat pemerintah memperkuat aspek kemitraan petani.
“Kami minta pemerintah mewajibkan perusahaan penerima subsidi untuk bermitra langsung dengan petani, karena dana subsidi itu berasal dari pungutan petani sendiri,” kata Sabarudin.
Dia, kemitraan yang diatur secara adil akan menciptakan harga tandan buah segar (TBS) yang layak. Termasuk, mengurangi ketergantungan petani pada tengkulak, serta mendorong penguatan koperasi petani.
“Biodiesel bukan hanya untuk ketahanan energi, tapi juga peluang besar memperkuat ekonomi rakyat. Masukkan koperasi petani sebagai penyedia resmi BBN dan beri akses pembiayaan untuk membangun pabrik mini biodiesel,” ujarnya.
Dari sisi pelaku usaha, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono menekankan transisi menuju B50 harus mempertimbangkan kondisi pasokan CPO. Mengingat, konsumsi biodiesel sejak 2023 sudah melebihi konsumsi untuk pangan. Bahkan hingga Mei 202, konsumsi juga lebih tinggi dibandingkan tahun 2024.
"Saat ini Indonesia sudah mengimplementasikan B40 dan rencananya tahun 2026 menjadi B50 dan akan dilanjutkan ke B60. Namun, perlu dikaji mana yang lebih menguntungkan untuk negara apakah impor solar atau biodiesel, sebab negara tetap membutuhkan dana untuk insentif biodiesel,” ungkap Eddy.
Ia juga mengingatkan perlunya fleksibilitas pencampuran biodiesel mengikuti keseimbangan produksi, konsumsi domestik, ekspor, serta harga CPO. “Jika dipaksakan, ada kemungkinan akan menciptakan instabilitas dalam tata kelola CPO negara, khususnya kuotasi ekspor, dan ini bisa berdampak pada fiskal,” tambahnya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), Ernest Gunawan, menyatakan dukungan terhadap uji kinerja B50. “Produsen mendukung penuh uji jalan dan implementasi B50 sepanjang kajian strategis dilakukan secara komprehensif dengan mempertimbangkan berbagai faktor,” ujarnya.
Ketua Umum IKA ISMEI, Ahmad Bahtiar Sebayang, menegaskan pentingnya kebijakan B50 dijalankan secara hati-hati. Menurut dia, Kebijakan akseleratif ini sangat baik, namun transisi mesti cermat.
"Jika transisi tidak dilakukan cermat, ada kemungkinan tidak berkelanjutan dalam jangka panjang dan berisiko memperburuk beban fiskal. Keamanan energi yang tepat tidak terletak pada ketergantungan satu sumber daya, melainkan pada pembangunan ekosistem energi yang tangguh, beragam, dan berkelanjutan,” kata Ahmad.