Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Putro. Foto: Medcom.id/Siti Yona Hukmana
Jakarta: Polri melimpahkan kembali berkas perkara empat tersangka kasus pemalsuan surat, untuk penerbitan 260 sertifikat hak milik (SHM) dan sertifikat hak guna bangunan (SHGB), di wilayah pagar laut Tangerang ke Kejaksaan Agung (Kejagung). Berkas itu dikirim kembali tanpa adanya tambahan pasal tindak pidana korupsi (tipikor) sesuai petunjuk jaksa.
Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigjen Djuhandani Rahardjo Puro mengatakan pihaknya langsung mempelajari setelah berkas perkara dikembalikan jaksa penuntut umum (JPU). Setelah mempelajari, penyidik meminta keterangan beberapa ahli, salah satunya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Dari teman-teman BPK, kita diskusikan kira-kira ini ada kerugian negara di mana ya. Mereka belum bisa menjelaskan adanya kerugian negara," kata Djuhandani di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Kamis, 10 April 2025.
Kemudian, dari keterangan beberapa ahli, Djuhandani mengaku juga mencoba mendiskusikan untuk melihat kasus tersebut bisa dikategorikan tindak pidana korupsi atau tidak. Di sisi lain, Djuhandani mengatakan petunjuk jaksa dicocokkan dengan Putusan MK No.25/ PUU 14-2016, tanggal 25 Januari 2017.
Ia menjelaskan dalam putusan MK menyatakan bahwa tindak pidana korupsi harus ada kerugian nyata, sehingga dapat konsekuensi hukum. Dihapusnya kata dapat dalam frase dapat merugikan kerugian negara di Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomo 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, sehingga kerugian negara secara nyata haruslah berdasarkan hasil pemeriksaan BPK RI atau Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP).
"Ini juga merupakan jawaban kami kepada JPU," ungkap Djuhandani.
Djuhandani melanjutkan, berdasarkan ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi secara eksplisit, menyatakan bahwa yang dapat dikategorikan tindak pidana korupsi adalah yang melanggar Undang-Undang tindak pidana korupsi atau melanggar Undang-Undang lain yang secara tegas dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi.
"Kemudian yang ketiga, terdapatnya indikasi pemberian suap atau gratifikasi kepada para penyelenggaran negara saat ini yang dalam hal ini Kades Kohod, ini saat ini sedang dilakukan penyelidikan oleh Kortas Tipidkor Mabes Polri," terang jenderal polisi bintang satu itu.
Selanjutnya, Djuhandani menyebut terhadap kejahatan atas kekayaan negara yang berupa pemagaran wilayah laut Desa Kohod, saat ini tengah diselidiki oleh penyidik Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri. Bahkan telah terbit surat perintah penyidikan.
Kemudian, bila melihat sesuai asas lex consumen derogate legi consumte, kata Djuhandani, aturan yang digunakan berdasarkan fakta-fakta yang dominan dalam sebuah perkara. Sehingga, melihat posisi kasus
pagar laut Tangerang, fakta yang dominan adalah pemalsuan dokumen.
"Di mana tidak menyebabkan kerugian negara terhadap keuangan negara ataupun perekonomian negara, sehingga penyidik berkeyakinan perkara tersebut bukan merupakan tindak pidana korupsi," terangnya.
Menurutnya, kerugian yang terjadi atas pemagaran laut tersebut dialami oleh para nelayan. Maka itu, Polri disebut masih meyakini kasus ini tindak pidana pemalsuan.
Argumen ini diperkuat berkaca pada proses penanganan kasus pagar laut di Desa Segarajaya, Tarumajaya, Bekasi yang modusnya sama dengan pagar laut Desa Kohod, Tangerang. Kejaksaan Negeri Cikarang menyatakan kasus pagar laut di Tarumajaya itu bukan tindak pidana korupsi.
"Dan JPU dari Cikarang sudah menghentikan penyelidikannya. Artinya antara Kohod dan ini sama kasusnya. Jadi kok di sana dihentikan penyelidikannya karena korupsi, di Kohod diminta penyelidikannya karena korupsi," ujar Djuhandani.
Kini, Djuhandani menyebut berkas perkara pagar laut Tangerang telah dikembalikan ke Kejagung dengan catatan-catatan bukan merupakan tindak pidana korupsi. Polri dipastikan masih berpegang pada tindak pidana pemalsuan sebagaimana Pasal 263 KUHP.
"Menurut penyidik, yang berkas yang kami kirimkan itu sudah terpenuhi unsur secara formil maupun materil. Hari ini kita kembalikan dengan alasan-alasan yang tadi kami sampaikan," pungkas dia.
Sebelumnya, Kejagung mengembalikan berkas perkara empat tersangka kasus pemalsuan surat untuk penerbitan 260 SHM di wilayah pagar laut Tangerang ke Bareskrim Polri. Korps Bhayangkara diminta melengkapi pasal tipikor. "Tentu jaksa penuntut umum dalam pendapatnya menyatakan agar terhadap para tersangka atau berkas perkara ini supaya disidik dengan pasal-pasal tindak pidana korupsi," kata Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar kepada
Metrotvnews.com, Kamis, 27 Maret 2025.
Harli menjelaskan JPU memberikan petunjuk itu usai membaca, meneliti, mengkaji, serta mendalami fakta-fakta yang ada dalam berkas perkara dikaitkan dengan pasal-pasal persangkaan. Alasan permintaan penyidikan tipikor, karena JPU menemukan fakta dalam berkas perkara, bahwa para tersangka terindikasi melakukan atau menerima suap dan gratifikasi. Kemudian, JPU menemukan fakta dalam berkas perkara adanya pemalsuan dokumen-dokumen.
"Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Undang-Undang Tipikor dan juga jaksa penuntut umum melihat sesuai dengan fakta-fakta berkas perkara telah memenuhi unsur-unsur di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor," ungkap mantan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Papua Barat itu.
Sehingga, kata dia, JPU berkesimpulan dan memberikan petunjuk kepada penyidik supaya berkas perkara ini disidik dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2021 tentang pemberantasan Tipikor. Di samping itu, dalam Pasal 63 ayat 2 KUHP, kata Harli, juga mengatur apabila satu perbuatan diatur dengan ketentuan pidana umum, tetapi sekaligus juga diatur dengan ketentuan pidana khusus, maka yang diberlakukan dalam perbuatan tersebut adalah ketentuan di dalam pidana khusus.
"Sehingga hal inilah yang menguatkan agar penyidik dapat melakukan proses penyidikan terhadap para tersangka ini dengan pasal-pasal tidak pidana korupsi dan seterusnya nanti akan berkoordinasi dengan jaksa penuntut umum," terang Harli.
Adapun keempat tersangka ialah Kepala Desa (Kades) Kohod Arsin, Sekretaris Desa (Sekdes) Kohod Ujang Karta, dan dua penerima kuasa berinisial SP dan CE. Kades hingga Sekdes Kohod itu terbukti bersama-sama memalsukan dokumen girik, surat penguasaan fisik bidang tanah.
Kemudian, surat pernyataan tidak sengketa, surat keterangan tanah hingga surat kuasa pengurusan permohonan sertifikat dari Warga Desa Kohod dan dokumen lain yang dibuat oleh Kades dan Sekdes sejak Desember 2023 sampai November 2024. Sejumlah dokumen yang dipalsukan itulah yang kemudian digunakan oleh keempatnya untuk mengajukan permohonan pengukuran Kantor Jasa Surveyor Berlisensi (KJSB) dan permohonan hak kepada Kantor Pertanahan Kab Tangerang. Hingga terbitlah 260 SHM atas nama warga Kohod.
Dittipidum Bareskrim Polri mengenakan Pasal 263 tentang tindak pidana pemalsuan surat dan atau Pasal 264 KUHP tentang Pemalsuan Akta Autentik dan atau Pasal 266 KUHP tentang Memasukkan Keterangan Palsu ke Dalam Akta Autentik juncto Pasal 55-56 KUHP tentang Turut Serta Melakukan, Membantu Melakukan.