Palang Merah Peringatkan 'Sejarah Terulang' di Sudan usai Jatuhnya El Fasher

Asap mengepul dari kota El Fasher di Sudan. (Anadolu Agency)

Palang Merah Peringatkan 'Sejarah Terulang' di Sudan usai Jatuhnya El Fasher

Willy Haryono • 4 November 2025 13:22

Riyadh – Presiden Komite Internasional Palang Merah (ICRC) Mirjana Spoljaric memperingatkan bahwa kekerasan di Darfur, Sudan, kembali menyerupai tragedi masa lalu setelah laporan pembunuhan massal muncul menyusul jatuhnya kota El Fasher ke tangan pasukan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) pekan lalu.

Dalam wawancara dengan Reuters selama kunjungannya ke Riyadh akhir pekan lalu, Spoljaric menggambarkan situasi di Sudan sebagai “mengenaskan”, dengan puluhan ribu warga mengungsi dan ribuan lainnya terjebak tanpa akses terhadap makanan, air, atau layanan medis.

Jatuhnya kota El Fasher menjadi titik penting dalam perang saudara yang telah berlangsung selama lebih dari dua tahun setengah. Kantor Hak Asasi Manusia PBB melaporkan bahwa ratusan warga sipil dan pejuang tak bersenjata mungkin tewas selama penaklukan kota tersebut.

Saksi mata menyebut pasukan RSF memisahkan pria dari wanita dan anak-anak sebelum terdengar suara tembakan. RSF membantah tuduhan bahwa mereka menargetkan warga sipil.

Krisis kemanusiaan yang memburuk

Spoljaric menyampaikan keprihatinan mendalam atas laporan dugaan pembantaian di Rumah Sakit Saudi, satu-satunya fasilitas medis yang masih beroperasi di El Fasher.

“Ini sejarah yang terulang, dan situasinya menjadi lebih buruk setiap kali suatu wilayah direbut oleh pihak lain,” katanya, seperti dikutip dari Asia One, Selasa, 4 November 2025. Pernyataannya mengingatkan kembali pada kekerasan di awal 2000-an yang menewaskan ratusan ribu orang di Darfur.

Staf ICRC di kota terdekat Tawila melaporkan bahwa banyak pengungsi “pingsan dan bahkan meninggal karena kelelahan atau luka mereka” dalam kondisi yang digambarkan Spoljaric sebagai “di luar batas kemanusiaan.”

Menurut Organisasi Migrasi Internasional (IOM), lebih dari 70.000 orang telah mengungsi sejak 26 Oktober, sementara sekitar 200.000 lainnya masih terperangkap di wilayah konflik.

Kekerasan ini mengingatkan pada tragedi lama yang secara luas diakui sebagai genosida, dan RSF bahkan telah dituduh oleh Amerika Serikat melakukan genosida di kota Geneina pada awal perang sipil.

Desakan pada komunitas internasional

Spoljaric menyerukan negara-negara yang memiliki pengaruh terhadap pihak-pihak bertikai agar “menahan mereka dan memastikan perlindungan warga sipil.”

Seruannya muncul di tengah tudingan bahwa Uni Emirat Arab (UEA) memberikan dukungan militer kepada RSF — klaim yang berulang kali dibantah oleh pemerintah UEA.

Spoljaric memperingatkan dunia kini tengah memasuki “dekade perang”, dengan jumlah konflik bersenjata meningkat dua kali lipat dalam 15 tahun terakhir. Ia menyoroti bahwa perkembangan teknologi militer, terutama drone, telah “menciptakan lingkungan di mana tak ada tempat yang aman lagi,” sebagaimana dialami warga El Fasher yang terpaksa bersembunyi di bunker bawah tanah dari serangan udara dan artileri. (Muhammad Adyatma Damardjati)

Baca juga:  Konflik Sudan Memburuk, Kelaparan Terkonfirmasi di El Fasher dan Kadugli

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Willy Haryono)