Kennorton Hutasoit, Jurnalis senior Metro TV. Foto: Dok/Istimewa
Oleh: Kennorton Hutasoit*
Presiden Prabowo Subianto kembali melakukan reshuffle kabinet pada Senin (8/9/2025). Dalam reshuffle kedua ini Presiden Prabowo melantik Purbaya Yudhi Sadewa menjadi Menteri Keuangan menggantikan Sri Mulyani, Ferry Juliantono menjadi Menteri Koperasi menggantikan Budi Arie, Mukhtaruddin menjadi Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia menggantikan Abdul Kadir Karding, dan Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin merangkap jabatan ad interim Menteri Koordinator bidang Politik dan Keamanan menggantikan Budi Gunawan.
Presiden Prabowo juga melantik Mochamad Irfan Yusuf menjadi Menteri Haji dan Umrah, sebagai kementerian yang baru dibentuk dan Dahnil Anzar Simanjuntak menjadi wakilnya. Sebelumnya, sudah ada reshuffle pertama pada Rabu (19/2/2025) lalu, Presiden Prabowo melantik guru besar Institut Teknologi Bandung (ITB) Brian Yuliarto sebagai Mendiktisaintek menggantikan Satryo Soemantri.
Langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah membuka ruang evaluasi terhadap jalannya pemerintahan, sekaligus mendengar aspirasi masyarakat di tengah dinamika politik dan sosial termasuk mendengarkan tuntutan warga yang disampaikan melalui demonstrasi.
Akhir Agustus lalu, sejumlah kota di Indonesia diwarnai aksi demonstrasi mahasiswa dan masyarakat sipil. Gelombang protes ini berjalan seiring dengan meningkatnya percakapan publik di media sosial. Data dari Monash University Data & Democracy Research Hub mencatat 13.780 unggahan original dari hampir 10 juta percakapan digital. Drone Emprit mencatat 21.800 mention dengan 7,56 miliar interaksi. Fenomena ini memperlihatkan bahwa ruang digital kini menjadi arena penting dalam demokrasi, tempat masyarakat mengekspresikan pandangan dan perasaan mereka.
Temuan Monash dan Drone Emprit dapat dibaca dengan kerangka Connective Action Etnopolitik (Hutasoit, 2025) yang menegaskan bahwa ekspresi personal berbasis identitas baik identitas kelas, profesi, maupun pengalaman marjinal akan terkoneksi secara digital menjadi solidaritas kolektif. Inilah mekanisme etnopolitik digital: identitas rakyat sebagai kelas pekerja dan masyarakat rentan dipertentangkan dengan elit dan aparat sebagai representasi negara.
Narasi ini bukan sekadar polarisasi spontan, tetapi proses connective action yang menyalurkan pengalaman personal menjadi solidaritas etnopolitik. Hal ini juga sejalan dengan temuan Monash bahwa 20% percakapan terindikasi bermuatan materi polarisasi, yang tidak semata-mata dipicu oleh ujaran toksik, melainkan berakar pada ketegangan kelas sosial. Demonstrasi sendiri merupakan hak konstitusional warga, bagian dari kehidupan demokrasi yang sehat, selama dilakukan secara damai dan tertib.
Isu-isu yang mengemuka tidak berhenti pada luapan emosi. Di ruang digital, Monash menemukan transisi dari kemarahan menuju joy dan trust ketika narasi bergeser ke Gerakan 17+8 yang berisi tuntutan mahasiswa dan rekomendasi masyarakat sipil, mulai dari penguatan transparansi anggaran, dialog publik yang lebih terbuka, hingga penegakan hukum yang adil. Drone Emprit juga menegaskan fenomena serupa bahwa solidaritas digital tidak hanya menolak, tetapi juga menawarkan jalan keluar berupa tuntutan sistemik. Artinya, dinamika publik bukan hanya berisi kritik, tetapi juga menawarkan gagasan yang dapat memperkaya proses demokrasi di Indonesia.
Dalam perspektif pemerintahan, reshuffle kabinet yang dilakukan Presiden Prabowo dapat dimaknai sebagai respon terhadap dinamika publik. Perombakan ini bukan karena kegagalan, melainkan bagian dari mekanisme evaluasi yang memang menjadi hak prerogatif presiden. Kebijakan menghadirkan wajah-wajah baru menunjukkan pemerintah menegaskan komitmen untuk terus meningkatkan kinerja, menjaga kepercayaan masyarakat, dan menjawab aspirasi publik.
Gelombang percakapan digital yang menyertai demonstrasi menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia semakin matang. Publik kini tidak hanya hadir di jalanan, tetapi juga aktif di ruang digital. Narasi dan aspirasi warga negara berkembang melalui media sosial, membentuk opini yang turut mewarnai arah kebijakan.
Kedaulatan publik dalam menyampaikan pendapat adalah ciri negara demokrasi. Pemerintah meresponsnya dengan mekanisme politik yang sah, salah satunya melalui reshuffle. Hal ini mencerminkan adanya komunikasi dua arah: rakyat menyampaikan aspirasi, negara mendengar dan melakukan penyesuaian.
Reshuffle kabinet, bersama langkah-langkah lain seperti evaluasi tunjangan DPR dan komitmen membuka ruang dialog, merupakan bagian dari upaya menjaga legitimasi dan stabilitas politik. Tantangan berikutnya adalah memastikan agar dinamika publik yang muncul bisa dikelola secara produktif. Demonstrasi perlu dipahami sebagai kanal koreksi dalam demokrasi, sementara pemerintah tetap menjaga arah kebijakan yang berpihak pada rakyat. Komunikasi yang terbuka, partisipasi publik yang sehat, dan evaluasi berkelanjutan penting untuk penguatan demokrasi, bukan sebagai krisis.
*Penulis adalah Doktor Ilmu Komunikasi Unpad, Mahasiswa S1 FH UMT, Tutor/Pengajar UT/UBSI