Gift Digital di Tengah Demonstrasi: Saat Ruang Publik Menjadi Pasar Tontonan

Kennorton Hutasoit, Jurnalis senior Metro TV. Foto: Dok/Istimewa

Gift Digital di Tengah Demonstrasi: Saat Ruang Publik Menjadi Pasar Tontonan

5 September 2025 17:12

Oleh: Kennorton Hutasoit*

Akhir Agustus hingga awal September 2025, Indonesia dikejutkan oleh gelombang demonstrasi di Jakarta, Bandung, hingga Makassar. Massa turun ke jalan menyuarakan tuntutan politik, tapi di balik teriakan dan benturan dengan aparat, ada wajah baru dari unjuk rasa yaitu siaran langsung di TikTok yang dibanjiri gift.

Tidak lagi sekadar dokumentasi, demo menjadi tontonan berbayar. Penonton dari rumah mengirim “gift” berupa kopi, roket, hingga kastil fantasi. Gift ini dikonversi menjadi uang, sehingga kerusuhan bisa bernilai jutaan rupiah dalam satu sesi live. Fenomena ini memunculkan pertanyaan serius: apakah demonstrasi masih ruang artikulasi aspirasi, atau telah berubah menjadi arena monetisasi digital?

Demonstrasi sejatinya adalah ekspresi politik rakyat. Namun, di ruang digital yang dikendalikan algoritma, logika ekonomi sering mengalahkan substansi politik. Semakin dramatis visual kerusuhan, semakin tinggi jumlah penonton dan peluang gift. 

Massa yang terdorong untuk merekam atau menyiarkan langsung bukan hanya karena semangat perjuangan, melainkan insentif finansial. Dalam bahasa sederhana: semakin rusuh, semakin ramai penonton, semakin banyak gift, semakin besar uang yang diterima.

Ruang publik menurut filsuf Jerman Jürgen Habermas adalah ranah kehidupan sosial di mana individu-individu dapat berkumpul sebagai publik untuk membentuk dan mengartikulasikan opini publik terkait isu-isu masyarakat, memengaruhi negara, dan mewujudkan demokrasi yang rasional. Defenisi itu berbeda dengan kenyataan pada peristiwa demonstrasi Agustus 2025. 
 

Baca juga: Connective Peace Communication: Narasi Digital di Tengah Gelombang Unjuk Rasa

Ruang publik yang idealnya menjadi tempat musyawarah kritis berubah menjadi logika pasar platform menjadi ruang tontonan. Nilai demokrasi dipertukarkan dengan nilai komersial. Gift di TikTok bervariasi nilainya mulai dari mawar/kopi (1 koin) senilai Rp 250, Planet (15.000 koin) senilai Rp3,75 juta, dan Roket atau Kastil Fantasi (20.000 koin) senilai Rp5 juta. Pada demonstrasi lalu, ada kasus akun yang menerima 10.000 gift kopi dalam satu live setara Rp2,5–3 juta hanya dalam satu siaran. Beberapa akun bahkan bisa memperoleh puluhan juta rupiah jika live berlangsung lama dan viral.

Aparat kepolisian dan Kementerian Komunikasi telah menyatakan mendalami dugaan bahwa sebagian gift tersebut berasal dari akun-akun judi online (judol). Skemanya sederhana yaitu akun judol membanjiri gift agar namanya muncul sebagai “top gifter”, sehingga sekaligus mempromosikan brand ilegal mereka.
 
Walaupun ada motif ekonomi, tapi tetap ada keterhubungan (connective) para demonstran melalui digital yang murni tidak digerakkan karena finansial. Bennett & Segerberg (2012) menjelaskan bagaimana aksi kolektif muncul lewat narasi personal di platform digital. Teori ini relevan untuk memahami bagaimana aksi demo kini tidak tergantung organisasi, melainkan jaringan akun individu yang menyiarkan live.

Namun, dalam konteks Indonesia, fenomena ini berkembang lebih jauh. Connective Action model Hutasoit (2025) menambahkan dimensi etnopolitik dan ekonomi. Solidaritas tidak lagi hanya berbasis kelas menengah urban progresif, melainkan juga komunitas etnis atau daerah yang merasa “seperjuangan” dan menunjukkan dukungan lewat gift digital.
 
Masyarakat kini hidup dalam “masyarakat platform,” di mana kehidupan publik dijalankan melalui aturan perusahaan teknologi. Demo Agustus adalah bukti bahwa partisipasi politik dimediasi oleh logika platform. Gift digital bukan sekadar hiburan, tetapi mekanisme partisipasi baru.

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi Digital menyoroti praktik live demo yang ditunggangi monetisasi dan provokasi. Bareskrim Polri menyatakan mendalami dugaan keterkaitan gift dengan judi online. Setelah terjadi kerusuhan, TikTok juga menangguhkan sementara fitur live di Indonesia pada 30 Agustus 2025, sebelum kembali mengaktifkan bertahap awal September. 
 
Baca juga: Data Presisi Untuk Pembangunan Desa: Manifesto Tindakan Kolektif Menuju Dekolonisasi Data
 
Fenomena gift live TikTok ternyata tidak hanya di Indonesia. Di Suriah pada 2022, berdasarkan Investigasi BBC menemukan keluarga di kamp pengungsian menggunakan TikTok live untuk meminta gift dengan sebagian besar pendapatan dipotong oleh platform. Di Hong Kong pada 2019  protes pro-demokrasi live-streamed secara masif, juga terjadi meski monetisasi tidak sebesar kasus TikTok di Indonesia. Hal ini menunjukkan Indonesia sedang mengalami fenomena global yakni ruang publik digital tidak hanya dimediasi, tetapi juga dimonetisasi.
 
Fenomena demonstrasi yang diwarnai gift mereduksi tujuan demonstrasi dari menyampaikan aspirasi menjadi mencari gift. Dalam fenomena ini provokasi terinsentif yaitu semakin rusuh situasi, semakin besar peluang monetisasi. Selain itu, fenomema demonstrasi disertai gift juga berpotensi menjadi tempat pencucian uang yaitu gift dari akun judol atau pihak luar bisa menjadi sarana “memutihkan” dana ilegal.

Dampak lainnya adalah erosi ruang publik yakni demokrasi berisiko berubah menjadi sekadar tontonan dramatis yang dihargai dengan koin digital. Ekonomi politik kerusuhan digital ini bisa jadi sebagai novelty yang berakar pada fenomena lokal Indonesia yang menarik untuk diteliti. 
 
Berdasarkan uraian di atas, direkomendasikan: pertama, agar ada transparansi monetisasi TikTok tentang gift agar dapat diaudit regulator saat terjadi eskalasi gangguan keamanan. Kedua, pembatasan Gift dengan penghentian sementara gift di konten berisiko tinggi (demo, kerusuhan, bencana). Ketiga, literasi digital agar publik sadar bahwa memberi gift pada konten rusuh berarti ikut mendorong insentif provokasi. 
 
Gift digital dalam demonstrasi adalah cermin zaman ketika ruang publik tak lagi steril dari logika pasar. Demokrasi dihadapkan pada dilema apakah dibiarkan terseret menjadi pasar tontonan atau dikelola agar teknologi justru memperkuat dialog publik. Jika dibiarkan, demonstrasi bisa kehilangan makna politiknya dan berubah sekadar konten viral. Tetapi jika ditata, ruang digital bisa menjadi arena partisipasi yang efektif, bagi mereka yang belum atau tidak bisa demonstrasi turun ke jalan. 

 
*Penulis adalah Jurnalis Metro TV, S3 Ilmu Komunikasi Unpad, Tutor-Pengajar UT/UBSI

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Misbahol Munir)