Poltak Silitonga, kuasa hukum pelapor Brigjen Djuhandani. Foto: Metrotvnews.com/Siti Yona Hukmana.
Siti Yona Hukmana • 24 February 2025 21:11
Jakarta: Ahli waris Brata Ruswanda, Wiwik Sudarsih tidak terima surat-surat tanahnya dengan objek seluas 10 hektare di Kotawaringin Barat dinyatakan palsu. Sertifikat itu dinyatakan palsu oleh Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandani Rahardjo Puro beberapa waktu lalu.
Wiwik mengaku kecewa dengan polisi. Ia pun meminta Brigjen Djuhandani segera mengembalikan barang bukti berupa dokumen berharga tanah miliknya yang diberikan bertahun-tahun yang lalu.
"Tujuan saya datang ke sini untuk mengambil surat-surat yang ada di Mabes Polri. Pokoknya, apa pun alasannya seharusnya diberikan, karena itu kan kita sudah meminta, sudah lebih dari empat kali kami datang ke sini," kata Wiwik di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Senin, 24 Februari 2025.
Kuasa hukum Wiwik, Poltak Silitonga menyebut Brigjen Djuhandani telah menyebarkan berita palsu atau hoaks. Sebab, belum ada proses pengadilan yang menyatakan surat tanah kliennya palsu.
"Seharusnya seorang jenderal harus hati-hati berbicara. Kalau menyatakan palsu berarti kan pengadilan yang mengatakan itu yang berhak. Padahal ini kita tidak pernah dilaporkan siapa," ungkapnya.
Malah, kata dia, kliennya melaporkan mantan Bupati Kotawaringin Kotawaringin Barat (Kobar), Nurhidayah atas dugaan menguasai 10 hektare lahan milik pelapor Wiwik menggunakan serifikat palsu. Pelaporan terhadap mantan kepala daerah itu dilayangkan Tahun 2018 dengan laporan polisi (LP) Nomor: LP/1228/X/2018/BARESKRIM dan Laporan Polisi Nomor: LP1229/X/2018/BARESKRIM.
Saat penyelidikan, kata Poltak, penyidik meminta surat tanah kliennya yang merupakan anak pertama Brata Ruswanda. Kemudian, pelapor Wiwik memberikan surat tanah asli itu yang sejatinya tidak perlu diberikan, hanya ditunjukkan.
"Tetapi, karena kita sudah menduga ada konspirasi antara penyidik dengan Bupati Kotawaringin Barat yang berkuasa itu dibujuk-bujuk lah ibu ini untuk memberikan suratnya. Tanpa di dampingi pengacara gitu loh," katanya.
Akhirnya, pelapor Wiwik memberikan sertifikat tanahnya dengan harapan segera diproses penyidik. Namun, nyatanya perkara itu tidak tuntas hingga 2024. Lelah berkutat tanpa pendampingan pengacara, Wiwik meminta Poltak Silitonga menjadi kuasa hukum.
"Akhirnya, kita bersurat tahun 2024 ke Bareskrim supaya mengembalikan surat yang diambilnya itu. Diambil pun itu berdasarkan kita itu tidak tahu, karena kalau penyitaan itu harus ada izin pengadilan, tetapi ini tidak ada, diambil begitu saja dengan membujuk-bujuk ibu ini," ucapnya.
Poltak mengaku mencari tahu alasan penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri tidak mau menyerahkan sertifikat tanah pelapor Wiwik. Ternyata, kata dia, berdasarkan informasi ada seorang kontraktor yang menyerahkan uang Rp8 miliar. Dia menduga uang itu untuk para penyidik agar tidak melanjutkan penanganan kasus dan menyita surat-surat tanah.
"Itu kan info yang kita dengar ya. Tetapi, ketika kita datang lagi untuk meminta surat itu sampai datang empat kali dari Kalimantan. Ibu ini sudah tua, sudah 69 tahun tidak juga diberikan. Katanya sabar-sabar," ucap Poltak.
Merasa tak mendapat kejelasan, Wiwik melaporkan Brigjen Djuhandani ke Divisi Propam Polri atas dugaan menggelapkan, menyembunyikan, dan menahan tanpa dasar hukum surat-surat berharga yang merupakan barang bukti. Laporan terhadap Djuhandani teregister dalam Nomor: SPSP2/000646/II/2025/BAGYANDUAN, tertanggal 10 Februari 2025.
Kemudian, Djuhandani kembali dilaporkan ke SPKT Bareskrim Polri atas dugaan melanggar Pasal 28 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang ITE dan Pasal 390 KUHP mengatur tentang tindak pidana menyebarkan berita bohong yang merugikan orang lain. Namun, laporan ditolak karena pernyataan Djuhandani dinilai penyidik tidak terdapat unsur pidana.
Duduk perkara kasus versi pelapor
Poltak menuturkan peristiwa berawal saat tanah 10 hektare di Kotawaringin Barat itu dibeli oleh Brata Ruswanda pada Tahun 1960. Brata kini sudah meninggal. Seiring berjalan waktu, sekitar 1973 dibuat surat tanah oleh kepala desa.
Berdasarkan surat itu, datang Dinas Pertanian meminjam tanah kepada Brata Ruswanda. Bukti surat pemakaiannya jelas. Setelah itu, Dinas Pertanian mengembalikan lagi tanah tersebut ke Brata Ruswanda. Lalu, dijual lah beberapa hektare tanah oleh Wiwik dan Brata Ruswanda.
Selanjutnya, pada 2005 keluar sertifikat tanah yang sisa 7 hektare. Lalu, tiba-tiba datang Bupati Kotawaringin Barat mengeklaim 10 hektare tanah tersebut menggunakan Surat Keputusan Gubernur.
Sang bupati disebut menggunakan surat palsu membatalkan sertifikat tanah Wiwik. Maka itu, Wiwik melaporkan kasus ini pada 2018 silam hingga saat ini kasus tak kunjung selesai.
Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandani Raharjo. Foto: Metrotvnews.com/Siti Yona Hukmana.
Respons dan keterangan versi Brigjen Djuhandani
Djuhandani membantah menggelapkan barang bukti. Jenderal polisi bintang satu itu menegaskan penyitaan barang bukti sesuai aturan. Djuhandani menjelaskan mulanya ada laporan tentang pemalsuan.
Menurutnya, pelapor memberikan alat-alat bukti atau barang bukti berupa sertifikat. Namun, dalam proses penyidikan, kata Djuhandani, ditemukan barang bukti yang menjadi objek ternyata palsu berdasarkan hasil uji laboratorium forensik (labfor).
"Ada ketentuan dari KUHAP menyatakan, kalau barang itu sudah tidak dipakai proses penyidikan, tentu saja dikembalikan kepada pemilik. Dalam proses itu kan ada sebuah gelar perkara, nah gelar perkara yang dilakukan setelah itu saat ini sedang proses. Kalau prosesnya sedang proses gelar, apakah boleh saya serahkan? Walaupun pelapor minta ya,” jelas Djuhandani kepada wartawan Jumat, 21 Februari 2025.
Djuhandani mengatakan sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), barang bukti itu akan dikembalikan dengan catatan. Sebab, surat dokumen yang diuji di laboratorium forensik non-identik.
“Kami tetap menjaga jangan sampai surat ini digunakan untuk perbuatan lain. Bukan digelapkan,” terang jenderal polisi bintang satu itu.
Djuhandani memandang pelaporan ke Divisi Propam Polri itu bagian dari koreksi dan evaluasi bagi dirinya bersama jajaran. Kemudian, ia memastikan penyidik tetap profesional dalam melaksanakan proses penyidikan suatu perkara.
"Insyaallah, kami selalu melalui proses secara profesional, kita gelarkan, hasil gelar kita itu yang menjadi panduan, dan saat ini sudah digelarkan, sudah selesai. Hanya masih proses pengawasan pengendalian pimpinan untuk langkah kita lebih lanjut. Jadi bukan digelapkan, kasihan penyidik sudah kerja bagus dilaporkan penggelapan," ujar Djuhandani.