Apa Itu LMKN? Sejarah, Tugas dan Kewenangan, serta Kritik yang Muncul

Logo LMKN. (Instagram/@lmkn_id)

Apa Itu LMKN? Sejarah, Tugas dan Kewenangan, serta Kritik yang Muncul

Riza Aslam Khaeron • 6 August 2025 15:06

Jakarta: Polemik royalti musik kembali mencuat ke ruang publik seiring kekhawatiran pelaku usaha terhadap kewajiban pembayaran royalti atas lagu dan musik yang diputar di ruang komersial. Anggota Komisi XIII DPR, Mafirion, pada Rabu, 6 Agustus 2025, menyampaikan keprihatinannya terhadap dampak beban royalti terhadap pertumbuhan industri kreatif nasional.

"Jangan sampai ketakutan akibat beban royalti justru menghambat pertumbuhan industri kreatif itu sendiri," ujarnya.

Mafirion juga menekankan bahwa kebijakan royalti tidak boleh mengabaikan kondisi pelaku usaha kecil dan menengah, serta mendesak pemerintah untuk mempertemukan musisi, pelaku usaha, dan LMKN guna mencari solusi konkret.

Dalam konteks inilah, posisi dan kewenangan LMKN sebagai pengelola sistem kolektif nasional kembali dipertanyakan dan dikritisi secara hukum. Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) memiliki peran sentral dalam sistem distribusi royalti, namun keberadaannya juga memicu kontroversi dari sisi hukum.

Berikut penjelasan mengenai sejarah pembentukannya, kewenangan yang dimiliki, serta persoalan hukum yang mengitarinya.
 

Sejarah LMKN

Pembentukan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) berakar dari amanat Pasal 89 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang menyebut dibentuknya lembaga manajemen kolektif secara nasional guna menjamin efisiensi dan efektivitas penarikan serta pendistribusian royalti.

Lembaga ini ditugaskan untuk mengelola pengumpulan royalti dari pengguna komersial, kemudian mendistribusikannya kepada para pencipta, pemilik hak cipta, dan pemilik hak terkait melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).

Bentuk konkret LMKN baru terwujud saat Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly secara resmi melantik Komisioner LMKN pada 20 Januari 2015 sebagai interpretasi dari Pasal 89 UU Hak Cipta. Susunan komisioner pertama dibagi menjadi dua kelompok. Untuk kelompok pencipta terdiri dari Rhoma Irama, James Freddy Sundah, Adi Adrian, Imam Haryanto, dan Slamet Adriyadie.

Sementara kelompok hak terkait terdiri dari Sam Bimbo, Ebiet G. Ade, Djanuar Ishak, Miranda Risang Ayu, dan Handi Santoso. Ketika masa jabatan mereka berakhir pada akhir 2017, PLT Komisioner ditunjuk untuk menjaga kesinambungan kerja LMKN hingga terbentuk kepengurusan baru pada 29 Januari 2019.

Selama periode 2019–2024, LMKN dipimpin oleh Brigjen. Pol(P) Yurod Saleh sebagai Ketua, bersama Direktur Hak Cipta dan Desain Industri sebagai Wakil Ketua. Komisioner terbagi ke dalam bidang-bidang seperti Hubungan Antar Lembaga, Hukum dan Litigasi, Teknologi Informasi, serta Kolektif Royalti dan Lisensi.

Terakhir, pada 20 Juni 2022, Wamenkumham Eddy Hiariej melantik komisioner baru untuk periode 2022–2025, termasuk Andre Hehanussa, Ikke Nurjanah, dan Marcel Siahaan.

Melansir penelitian oleh Jimmy Zeravianus Usfunan, Made Aditya Pramana Putra, dan Ni Wayan Ella Apryani dari Fakultas Hukum Universitas Udayana, yang diterbitkan dalam Jurnal Magister Hukum Udayana, Vol. 13 No. 3, September 2024, LMKN diposisikan sebagai lembaga bantu non-APBN yang memiliki wewenang menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti serta menetapkan pedoman tarif nasional.

Otoritas LMKN semakin diperkuat dengan Deklarasi Bali pada 26 April 2019, yang ditandatangani oleh DJKI, LMKN, dan delapan LMK. Deklarasi ini menetapkan LMKN sebagai satu-satunya lembaga penghimpun dan pendistribusi royalti dalam sistem satu pintu secara nasional.
 

Tugas dan Wewenang LMKN

Mengacu pada Pasal 89 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang diperkuat melalui Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2021 dan Permenkumham No. 36 Tahun 2018, lembaga ini memperoleh atribusi resmi dari negara untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti atas pemanfaatan lagu dan/atau musik di ruang publik komersial (Public Performance Rights).

Secara lebih rinci, lembaga ini memiliki beberapa tugas dan wewenang utama, yaitu:
  1. Mengumpulkan royalti dari pengguna komersial yang memanfaatkan lagu atau musik, seperti hotel, restoran, pusat perbelanjaan, transportasi publik, dan platform digital;
  2. Menetapkan sistem dan pedoman perhitungan serta penetapan tarif royalti yang disahkan melalui Keputusan Menteri Hukum dan HAM;
  3. Menyalurkan royalti yang terkumpul kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK);
  4. Menyediakan dan mengelola sistem berbasis teknologi informasi guna menjamin transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi dalam pengelolaan royalti;
  5. Melakukan evaluasi, verifikasi, dan pengawasan terhadap izin operasional LMK yang menjadi mitranya.
Penting untuk dicatat bahwa LMKN bukan lembaga negara dan tidak menerima pendanaan dari APBN, tetapi beroperasi di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM. LMKN tidak mendata atau mengelola katalog karya cipta secara langsung, melainkan bertugas sebagai penghubung antara pengguna karya dan LMK yang memiliki data serta kuasa atas karya dan pemilik hak terkait.
 

LMK yang Terdaftar

Mengacu pada Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, untuk pengelolaan royalti lagu dan/atau musik dibentuk dua jenis Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) nasional yang merepresentasikan dua kepentingan: yakni kepentingan pencipta dan kepentingan pemilik hak terkait. Hingga saat ini, terdapat delapan LMK yang secara resmi terdaftar dan bermitra dengan LMKN dalam distribusi royalti:

1. LMK Pencipta:
  • KCI – Karya Cipta Indonesia
  • WAMI – Wahana Musik Indonesia
  • RAI – Perkumpulan Royalti Anugerah Indonesia
  • LMK Pelari Nusantara
2. LMK Hak Terkait:
  • SELMI – Sentra Lisensi Musik Indonesia
  • ARDI – Asosiasi Royalti Dangdut Indonesia
  • PAPPRI – Persatuan Artis Penyanyi Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia
  • PRISINDO – Perkumpulan Rumah Industri Musik Indonesia
  • ARMINDO – Artis Rekaman Musik Indonesia
  • STAR – Star Music Indonesia
Delapan LMK ini menjalankan fungsi operasional dalam pengelolaan hak cipta dan hak terkait, serta menerima distribusi royalti dari LMKN berdasarkan laporan pemanfaatan lagu dan/atau musik di ruang publik komersial.
 
Baca Juga:
Polemik Royalti Musik Jangan Menghambat Pertumbuhan Industri Kreatif
 

Permasalahan Hukum

Keberadaan LMKN sebagai lembaga non-struktural yang mengelola royalti menuai kritik hukum sejak kemunculannya. Sorotan utama datang dari para pencipta lagu dan pelaku industri yang merasa hak-haknya terpinggirkan dalam mekanisme pengelolaan royalti secara terpusat.

Pada Kamis, 24 April 2025, sejumlah pencipta dan pelaku industri yang tergabung dalam Aliansi Pencinta Musik Indonesia (APMI) mengajukan uji materiil terhadap Pasal 89 ayat (1)–(4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta ke Mahkamah Konstitusi, terdaftar dalam perkara Nomor 30/PUU-XXIII/2025.

Dalam permohonan yang disidangkan di Ruang Panel MK, para pemohon menyatakan bahwa ketentuan tersebut telah dimaknai secara menyimpang oleh pemerintah dengan membentuk entitas baru bernama LMKN, yang tidak disebut secara eksplisit dalam UU.

Mereka menilai bahwa pembentukan LMKN hanya berdasarkan frasa "nasional" dalam Pasal 89 ayat (1), tanpa dasar hukum yang sah, sehingga dianggap melampaui kewenangan atau ultra vires.

Lebih lanjut, para pemohon menilai kewenangan LMKN dalam menarik dan menghimpun royalti telah merampas hak ekonomi pencipta karena minimnya transparansi dan akuntabilitas. LMKN juga dinilai bertentangan dengan prinsip keadilan dan kepastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.

Selain itu, sentralisasi pengelolaan royalti melalui LMKN dinilai melanggar prinsip kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945) karena tidak memberikan ruang partisipasi kepada pencipta dalam menentukan mekanisme pembagian royalti.

Dalam petitumnya, para pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan frasa “nasional” tidak dapat dimaknai sebagai dasar pembentukan LMKN, serta menuntut agar pengelolaan royalti dikembalikan sepenuhnya kepada LMK tanpa intervensi entitas perantara.

Meski dibentuk dengan semangat efisiensi dan perlindungan hak ekonomi pencipta, LMKN terus menjadi sorotan karena persoalan transparansi, kewenangan hukum, dan keberpihakannya terhadap pelaku industri kreatif. Ke depan, keberlanjutan lembaga ini sangat bergantung pada kemampuan negara untuk menyeimbangkan perlindungan hak kekayaan intelektual dengan keadilan hukum dan partisipasi para pemangku kepentingan.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Surya Perkasa)