Klaim Disidang Paksa, Hasto Tegaskan Dirinya Korban Pengadilan Politik

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto/Metro TV/Candra

Klaim Disidang Paksa, Hasto Tegaskan Dirinya Korban Pengadilan Politik

M Rodhi Aulia • 25 April 2025 11:55

Jakarta: Dalam sebuah pernyataan yang meledak seperti petir di ruang sidang, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dengan lantang menyebut bahwa dirinya tengah menghadapi pengadilan politik. Bukan sekadar pembelaan biasa, Hasto menyatakan bahwa kasus yang menjeratnya hanyalah kelanjutan dari drama politik yang dikemas dalam bentuk hukum.

“Ini adalah pengadilan politik,” tegas Hasto lewat surat yang dibacakan oleh Juru Bicara PDIP Guntur Romli dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis, 24 April 2025.

Hasto mengklaim bahwa proses hukum terhadapnya adalah bentuk rekayasa yang dipaksakan, bahkan setelah fakta-fakta hukum menyebut bahwa uang suap dalam kasus Harun Masiku tak ada kaitannya dengan dirinya. Ia merasa hanya dijadikan target politik dalam persidangan yang seharusnya sudah selesai sejak 2020.

Pernyataan Hasto menimbulkan pertanyaan besar: Apa sebenarnya yang dimaksud dengan pengadilan politik? Berikut penjelasan dan lima alasan Hasto meyakini bahwa dirinya sedang menghadapi bentuk lain dari peradilan—yang lebih ditentukan oleh kepentingan kekuasaan ketimbang keadilan.

1. Apa Itu Pengadilan Politik?

Pengadilan politik adalah bentuk proses hukum yang sejatinya tidak sepenuhnya murni bertumpu pada bukti dan keadilan, melainkan digunakan sebagai alat untuk melemahkan, menghambat, atau bahkan menjatuhkan lawan politik. Dalam banyak kasus, pengadilan jenis ini ditandai dengan dakwaan yang dipaksakan, bukti yang lemah atau tidak relevan, serta atmosfer persidangan yang sarat kepentingan kekuasaan.

Dalam konteks ini, Hasto meyakini bahwa persidangan terhadap dirinya hanyalah bentuk “pengadilan sandiwara” yang menjadikan dirinya sebagai simbol musuh politik yang harus disingkirkan.

Baca juga: Rekaman Sadapan hingga Frasa Perintah Ibu: Fakta-fakta Mengejutkan dari Sidang Hasto Kristiyanto

2. Putusan 2020 Sudah Final, Kenapa Dibuka Lagi?

Hasto menjelaskan bahwa segala hal terkait dana dari Harun Masiku sudah diputuskan secara hukum dalam putusan perkara nomor 18 Pidsus/TPK/2020/PN Jakarta Pusat. Di halaman 130 putusan itu, dana operasional yang diterima Wahyu Setiawan secara eksplisit berasal dari Harun Masiku.

“Jadi keputusan ini sudah ada pada persidangan tahun 2020 bahwa uang operasional atau uang suap baik Rp 400 juta atau Rp 850 juta itu semuanya berasal dari Harun Masiku,” kata Hasto melalui surat yang dibacakan Guntur Romli.

Baginya, jika semua fakta hukum sudah jelas dan tidak mengarah padanya, maka tidak ada alasan untuk kembali mengaitkannya dalam kasus yang telah inkrah.

3. Dakwaan Jaksa Dianggap Inkonsisten dan Lemah

Anggota tim hukum Hasto, Febri Diansyah, menuding Jaksa Penuntut Umum melakukan manipulasi dakwaan dengan mencampurkan fakta dan asumsi. Ia menyebut salah satu dakwaan soal pemberian uang Rp600 juta ternyata hanya terjadi sekali dan nominalnya jauh lebih kecil.

“Dari tuduhan awal 600 juta ternyata baru 200 juta yang diberikan,” kata Febri. Bahkan uang dalam bentuk 38.300 dolar Singapura yang disebut-sebut dalam dakwaan, menurut saksi, “tidak pernah berpindah tangan.”

Ketika sebuah dakwaan mengandung lubang besar seperti ini, menurut tim hukum Hasto, maka jelas proses peradilannya cacat.

4. Kehadiran Provokator: Tekanan Non-Yudisial di Pengadilan

Bukan hanya persoalan substansi hukum, Hasto dan timnya juga menyoroti adanya tekanan eksternal yang makin memperkuat klaim pengadilan politik. Dalam sidang 24 April, sekelompok orang berseragam kaos putih bertuliskan “SaveKPK” memaksa masuk ke ruang sidang dan membuat kericuhan.

“Setelah tertangkapnya para penyusup ke sidang Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto pekan lalu, tapi bohirnya tidak berhenti dengan mengirimkan kembali penyusup dan provokator,” ujar Guntur Romli.

Aksi dorong-dorongan bahkan sempat terjadi antara polisi dan Satgas PDIP, mengindikasikan adanya operasi politik di luar jalur hukum.

5. Harapan Hasto: Momentum Menguji Kemandirian Peradilan

Meski menyebut proses ini sebagai pengadilan politik, Hasto tetap berharap persidangan ini bisa menjadi titik balik peradilan di Indonesia untuk menunjukkan integritas dan kemandiriannya.

“Inilah momentum untuk menunjukkan lembaga peradilan yang berwibawa mandiri dan menjadi rumah bagi bekerjanya kebenaran dan keadilan,” tegas Hasto.

Di tengah gelombang tuduhan dan ketegangan persidangan, Hasto berdiri dengan satu narasi: dirinya adalah korban dari sistem yang sedang dipolitisasi. Apakah ini benar sebuah peradilan politik, ataukah sekadar pembelaan dari seorang politikus dalam masalah hukum? Waktu dan proses pengadilan akan menjawabnya—namun opini publik telah diguncang oleh satu istilah kuat: pengadilan politik.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(M Rodhi Aulia)