Perang Harga Mobil Listrik Semakin Sengit, Kanibalisme Pasar Terjadi di Segmen Menengah

Ilustrasi. Foto: Dok istimewa

Perang Harga Mobil Listrik Semakin Sengit, Kanibalisme Pasar Terjadi di Segmen Menengah

Eko Nordiansyah • 11 December 2025 20:00

Jakarta: Dinamika pasar mobil listrik di Indonesia kini berada di fase persaingan harga yang ekstrem. Research Associate ID COMM, sekaligus Co-Founder AutonetMagz, Claudius Surya, mengungkapkan, bahwa pertumbuhan kendaraan listrik (EV) saat ini belum menciptakan perluasan pasar yang inklusif, melainkan terjadi kanibalisme di segmen mobil konvensional (ICE) kelas menengah.

Surya menjelaskan, bahwa selama tahun 2023 hingga 2025, pertumbuhan EV didorong oleh produk yang harganya semakin turun. Ia menegaskan, mengenai kanibalisme dari mobil ICE ke mobil EV, terutama di segmen-segmen tertentu.

Surya menyoroti, bahwa pasar EV mengalami penurunan harga signifikan, yang semula dipasarkan dikisaran Rp500 juta hingga Rp700 juta, kini telah bergeser di bawah Rp200 juta rupiah. Ia menyebut fenomena ini sebagai perang harga yang sangat dinamis.

"Saat ini, harga termurah, harga termahal itu adalah harga pas launching. Itu yang sedang terjadi di kondisi market kita sekarang. Perang harga itu tidak dikalahkan," ujarnya, Kamis, 11 Desember 2025.

Fenomena ini, meskipun menguntungkan konsumen, menimbulkan risiko bagi keberlangsungan merek yang dikhawatirkan tidak akan bertahan lama karena tekanan margin yang sangat tipis. Persaingan ini dipicu oleh merek yang lebih pintar dalam melihat pasar, seperti Wuling dan BYD, yang menawarkan produk di segmen harga dan jenis yang sesuai dengan preferensi pasar Indonesia.
 



(Ilustrasi. Foto: Dok Metrotvnews.com)

2 faktor penentu

Dalam menilai produk EV, konsumen Indonesia melihat dua faktor utama, yaitu spesifikasi teknis dan relevansi atau kebutuhan pasar. Ia menambahkan, mobil yang bisa memenuhi spesifikasi teknis dan kebutuhan pasar itu biasanya akan dicari.

Produk yang laris adalah yang menawarkan value for money dan memenuhi kebutuhan pasar. Sebaliknya, beberapa teknologi yang terlalu canggih dan tidak relevan dengan kebutuhan konsumen Indonesia, cenderung tidak laku.

Surya juga menyoroti peran media dalam membentuk perspektif publik. Walaupun narasi media cenderung positif, ia mendesak media untuk lebih kritis dan mengangkat isu-isu safety, seperti fire hazard.

Ia juga mengkritik narasi pemerintah yang seringkali terlalu teknokratik (teknis). Ia menekankan, bahwa informasi kebijakan tentang nikel atau ekosistem tidak relevan bagi sebagian besar konsumen.

"Kita sebagai media, kita harus banyak mendorong narasi-narasi yang memudahkan atau memberikan insight-insight yang positif untuk adopsi mobil listrik. Karena, kalau tidak, asalnya akan tidak teredukasi," tegasnya.

Ia menyimpulkan bahwa media harus bertindak sebagai translator dan mediator, menjembatani kebutuhan konsumen dengan informasi teknis dari pemerintah dan produk dari industri. Komunitas juga memainkan peran besar sebagai sumber edukasi di mode fase learning ini. (Kelvin Yurcel)

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Eko Nordiansyah)