Editorial Media Indonesia: Tembus Semua Wilayah Terisolasi

Editorial Media Indonesia: Tembus Semua Wilayah Terisolasi. Foto: Media Indonesia (MI)/Duta.

Editorial Media Indonesia: Tembus Semua Wilayah Terisolasi

Media Indonesia • 8 December 2025 06:20

Sudah hampir dua pekan pascabencana banjir bandang dan tanah longsor menerjang sejumlah wilayah di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Namun, awan kelabu duka belum kunjung beranjak. Air bah mungkin telah surut, menyisakan lumpur yang pekat, tetapi ancaman maut justru muncul menjadi bentuk lain yang tak kalah mengerikan. Ancaman itu ialah kelaparan di tengah wilayah yang terisolasi.

Pernyataan Gubernur Aceh Muzakir Manaf, yang acap dipanggil Mualem, bahwa ada sejumlah korban yang meninggal dunia bukan lantaran terseret arus banjir melainkan karena kelaparan, tentu sangat mengoyak rasa kemanusiaan. Kematian akibat kelaparan pascabencana adalah ironi yang memilukan, sekaligus memalukan, di tengah gempita kecanggihan teknologi di berbagai sektor, termasuk teknologi penanganan bencana.
 


Hingga beberapa waktu lalu, di sebagian wilayah Aceh, seperti Aceh Tamiang, Aceh Utara, Aceh Timur, hingga Aceh Tengah dan pedalaman Gayo Lues, masih banyak titik yang belum tersentuh bantuan. Infrastruktur jalan dan jembatan yang porak-poranda membuat akses darat lumpuh total. Pemerintah daerah pun banyak yang melempar handuk putih karena mengaku sudah tidak sanggup mengatasi keadaan.

Alhasil, banyak keluarga bertahan tanpa air bersih, tanpa makanan, dan hidup dalam kubangan lumpur sisa banjir. Sebagian dari mereka akhirnya tidak mampu bertahan. Mereka, seperti yang diungkapkan oleh Mualem, mungkin selamat dari terjangan air, tapi kemudian justru meregang nyawa karena perut yang kosong.

Kenyataan pahit itu seharusnya menjadi tamparan keras bagi manajemen penanggulangan bencana di negeri ini. Ada kegagalan yang teramat fatal dalam respons tanggap darurat, khususnya dalam memetakan dan menembus wilayah-wilayah yang terkurung.

Dalam situasi krisis, kita berkejaran dengan waktu. Hitungan jam adalah nyawa, apalagi hitungan pekan. Maka, fakta bahwa masih ada daerah yang terisolasi lebih dari satu pekan menunjukkan lambannya gerak mesin birokrasi dan mobilisasi alat berat. Ini jelas merupakan alarm tanda bahaya tingkat tinggi.


Presiden Prabowo Subianto (tengah) memimpin rapat koordinasi penanganan dampak banjir bandang dan longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat di Posko Terpadu Lanud Sultan Iskandar Muda, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Minggu, 7 Desember 2025. ANTARA/HO-Do

Kemarin, Presiden Prabowo Subianto untuk kedua kalinya mengunjungi lokasi bencana. Tentu ia sudah mendapat laporan terperinci terkait dengan kejadian kematian pascabencana yang menyesakkan tersebut. Karena itu, kita betul-betul berharap kedatangan Kepala Negara kali ini bisa menjadi titik balik bagi pemerintah untuk mengubah strategi penanganan bencana Sumatra.

Fokus utama saat ini semestinya bukan lagi sekadar mendata korban dan kerusakan fisik, melainkan operasi kemanusiaan untuk menembus isolasi. Pemerintah pusat punya kewajiban moral dan konstitusional untuk segera mengerahkan seluruh kemampuan, mulai dari mobilisasi udara, distribusi logistik, hingga penyediaan layanan kesehatan serta air bersih.

Jika jalur darat buntu, jembatan udara harus dibangun. Helikopter-helikopter mesti lebih banyak diterbangkan untuk menjatuhkan logistik pangan dan obat-obatan ke titik-titik yang tak bisa dijangkau melalui darat. Tidak hanya itu, distribusi bahan bakar minyak (BBM) dan listrik juga mesti cepat dipulihkan.
 
Tragedi kematian akibat kelaparan di tengah isolasi menjadi pengingat paling getir bahwa bencana belumlah selesai saat hujan berhenti. Duka belumlah berakhir meskipun air bah banjir sudah menyurut. Penanganan pascabencana, terutama distribusi logistik ke daerah terpencil, adalah ujian sesungguhnya dari kehadiran negara. Bila tawaran bantuan dari mana pun termasuk dari negara sahabat datang, jangan gengsi untuk menerimanya, yang penting anak bangsa bisa diselamatkan.

Dalam konteks dan situasi apa pun, menyelamatkan nyawa adalah hukum tertinggi yang tidak bisa ditawar. Kita tidak ingin mendengar lagi ada anak bangsa yang meninggal karena kelaparan akibat bantuan yang datang sangat terlambat.

Karena itu, tidak ada kata lain, wilayah-wilayah yang masih terisolasi harus segera ditembus. Ketika negara punya segala perangkat, peralatan, dan teknologi untuk melakukan itu, medan yang berat tidak boleh menjadi alasan pembenar atas hilangnya nyawa rakyat yang sedang menunggu pertolongan.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Fachri Audhia Hafiez)